Asal Usul Makam Aya di Kaltim, Setinggi Pohon Kelapa
Di desa ini terdapat sebuah makam kuno yang bentuknya memanjang ke atas, menyerupai rumah panggung, yang tingginya hampir sama dengan pohon kelapa.
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Tribun Kaltim/Budi Susilo
TRIBUNNEWS.COM, TANJUNG SELOR - Rasa penasaran muncul saat mengunjungi Desa Naha Aya, Kecamatan Peso Hilir Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Utara.
Di desa ini terdapat sebuah makam kuno yang bentuknya memanjang ke atas, menyerupai rumah panggung, yang tingginya hampir sama dengan pohon kelapa dewasa.
Siapa gerangan sosok di makam kuno tersebut?
Kuburan itu, menurut Kepala Adat Desa Naha Aya, Wan Luhat (70), merupakan makam leluhur yang menjadi cikal bakal nama desa menjadi Naha Aya.
Dahulu kala, ada seorang perempuan meninggal dunia karena terhanyut Sungai Kayan dan tersangkut di daratan yang kini bernama Desa Naha Aya, yang sebagian besar warga desanya bermata pencaharian sebagai petani.
Kepala Adat Desa Naha Aya, Wan Luhat menunjukkan makam kuno bernama Aya di Desa Naha Aya, Peso Hilir, Bulungan, Kaltim. Makam tersebut ialah seorang perempuan Dayak yang tewas tenggelam di Sungai Kayan. (Tribun Kaltim/Budi Susilo)
“Kuburan sejak leluhur saya masih hidup. Cerita turun-temurun itu adalah makam Aya, perempuan yang meninggal disini (Desa Naha Aya). Jasadnya datang dari Giram (Peso Hulu) terhanyut di sini (Desa Naha Aya),” ungkap Luhat, pekan lalu.
Lokasi kuburan berada di belakang pemukiman penduduk dan pinggiran aliran Sungai Kayan.
Di makam itu juga ada beberapa kuburan warga setempat yang model kuburannya seperti pada umumnya.
Sementara, bentuk kuburan Aya sangat berbeda dari yang lainnya.
Peti jenazahnya membentuk kotak dan ditopang tiang-tiang berdiri.
Jumlahnya ada lima dengan ukuran tinggi yang menyerupai pohon kelapa.
Pantauan Tribun, makam itu terbuat dari kayu-kayu ulin.
Satu penopang makam telah ambruk dimakan usia, jadi sekarang tinggal tersisa empat.
Sekitaran makam Aya itu dipenuhi semak belukar.
Kata Luhat, model makam seperti itu merupakan orang-orang yang masuk dalam kaum bangsawan.
Makamnya dibuat tinggi karena ada kepercayaan arwah naik ke langit menuju kehidupan yang lebih baik.
Sebenarnya di dalam tanah, tepatnya pada tiang tonggak bagian tengah, terdapat manusia yang dikubur secara hidup-hidup.
“Yang saya tahu ada pengikut setia dari orang yang meninggal. Ikut dikubur di dalam tanah. Pas dipendam di situ, yang di tiang tengahnya,” ungkap Luhat.
Sempat pernah ada cerita, beberapa orang berburu harta peninggalan di makam itu.
Sebab orang terdahulu bila meninggal dunia, semua barang harta benda yang dimiliki juga ikut dibawa ke dalam peti jenazah.
“Katanya di dalam sana ada benda seperti alat musik Gong. Tapi sudah hilang. Sempat dicuri,” ujar Luhat.
Bagi warga setempat, keberadaan makam kuno tersebut tidak mengganggu kenyamanan.
Sebaliknya, makam tersebut dijadikan inspirasi bagi penamaan desa.
“Dari kami menetap di desa sini tidak ada bau-bau aneh, apalagi terjadi hal-hal misteri,” tutur pria kelahiran Makassar ini.
Orang-orang zaman dahulu, belum mengenal formalin seperti manusia modern sekarang.
Luhat yakin leluhurnya kala itu lebih banyak mengandalkan ramuan-ramuan alami yang diambil dari lingkungan tempat tinggalnya.
“Saya tidak tahu pakai apa mereka bisa mengawetkan mayat. Yang pasti tidak pakai formalin,” katanya.