Gunung Salak, Tak Hanya Menyimpan Cerita Misteri, Ada Juga Destinasi Wisata Tersembunyi di Sini
Tahukah Anda, di lereng Gunung Salak tersembunyi berbagai lokasi wisata yang jika digarap dan ditata dengan baik akan mampu menarik minat pengunjung.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Anda yang sering berkunjung ke Bogor, Jawa Barat, tentu bosan dengan obyek wisata yang itu-itu saja, seperti Kebun Raya atau Istana Presiden.
Tidak ada salahnya Anda yang memiliki jiwa petualangan sesekali mencoba menelusuri lereng Gunung Salak dan menikmati keindahan pemandangan di sana.
Gunung Salak selama ini kurang dikenal memiliki potensi wisata alam. Dibandingkan Gunung Gede-Pangrango, Gunung Salak lebih dikenal dengan reputasinya yang "gelap".
Kampung Budaya Sindangbarang, di lereng Gunung Salak, Jawa Barat. (kompas/lusiana indriasari)
Kabar seputar gunung ini sering kali terkait dengan peristiwa kecelakaan pesawat atau hilangnya pendaki gunung, yang semuanya kerap dikaitkan dengan hal-hal mistis.
Di kalangan para pendaki pun, Salak dikenal sebagai gunung yang paling angker karena sering menyesatkan pendaki.
Namun, tahukah Anda, di lereng Gunung Salak tersembunyi berbagai lokasi wisata yang jika digarap dan ditata dengan baik akan mampu menarik minat pengunjung.
Kesempatan untuk menelusuri sebagian kecil lereng gunung yang terakhir kali meletus tahun 1600-an ini datang awal pekan lalu.
Bersama puluhan wartawan pariwisata, kami mencoba menengok beberapa lokasi wisata di Gunung Salak.
Karena waktu terbatas, kami hanya bisa menjelajahi tiga lokasi di Kabupaten Bogor, yaitu Curug Cigamea di Desa Gunungsari, Kecamatan Pamijahan; Pura Parahyangan Agung Jagatkartta di Desa Tamansari, Kecamatan Tamansari; dan Kampung Budaya Sindangbarang di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari.
Lereng Gunung Salak yang dikelola Taman Nasional Halimun Salak ini memiliki area pariwisata bernama kawasan Salak Endah.
Kawasan ini dikenal memiliki banyak air terjun (curug). Sebagian besar air terjun alami itu masih belum memiliki akses memadai bagi pengunjung.
Karena persoalan kemudahan akses ini pula, akhirnya kami memilih berkunjung ke Air Terjun Cigamea.
Gemuruh air terjun yang tingginya mencapai 50 meter itu bahkan sudah terdengar dari jarak hampir 700 meter, saat kami hendak menuruni anak tangga yang dibangun warga desa setempat.
Dari pusat kota Bogor dibutuhkan waktu hampir dua jam untuk ke Cigamea.
Jalanan sempit dan mendaki terjal serta aspal jalan yang rusak membuat mobil sewaan kami menderu-deru untuk sampai ke air terjun.
Setiap kali berpapasan dengan mobil lain, pengemudi terpaksa bergilir untuk lewat.
Namun, sepanjang perjalanan pandangan, kami banyak terhalang oleh rumah-rumah penduduk yang begitu padat.
Kami hanya bisa sesekali menyaksikan lembah-lembah di bawah sana dari celah antar-rumah.
Pintu masuk menuju lokasi Curug Cigamea pun berada di sela-sela rumah warga Desa Gunungsari, tempat air terjun itu berada.
Dari pelataran parkir yang disediakan, kami menuruni anak tangga curam yang dibangun warga dari batu-batu alam.
Di beberapa lokasi tampak pepohonan habitat monyet ekor panjang. Di sana, monyet berkeliaran liar dan mendekati pengunjung yang melintasi daerah mereka.
Di Cigamea terdapat dua air terjun yang menggerus dua tebing berbeda, salah satunya tebing berwarna kuning kecoklatan.
Warga menyebutnya dengan nama Air Terjun Cimudal.
Tidak jauh dari sana, lanjutnya, terdapat empat air terjun lain, tetapi masih sulit dicapai karena akses belum memadai.
Kampung budaya
Di lereng Gunung Salak juga terdapat area pelestarian budaya yang disebut Kampung Budaya Sindangbarang di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor.
Kampung ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari Kota Bogor, hanya berjarak sekitar 5 kilometer.
Sebelum ke kampung budaya, kami sempat mampir di Pura Parahyangan Agung Jagatkartta, yaitu pura terbesar di luar Pulau Bali.
Pura yang terdiri atas tiga teras ini sebetulnya bukan tempat wisata.
Akan tetapi, pengelola pura tetap membuka akses, meski terbatas, kepada pengunjung yang ingin melihat-lihat tempat peribadatan ini.
Keberadaan bangunan pura "terlukis" indah dengan Gunung Salak sebagai latar belakang pura, bagus dinikmati saat cuaca cerah.
Setelah dari pura, kami buru-buru menuju Kampung Budaya Sindangbarang karena matahari mulai berangsur ke arah barat.
Kampung replika dari sebuah desa kuno yang pernah ada pada abad ke-12 ini menempati area seluas 8.600 meter persegi.
"Kampung asli sudah berubah total. Semua berganti dengan rumah modern. Lokasinya masih masuk lagi," kata Ukat Sukatma dari bagian informasi Kampung Budaya Sindangbarang.
Dengan biaya Rp 150.000 per orang, minimal 30 orang, mereka yang berkunjung ke Sindangbarang bisa menikmati berbagai atraksi seni budaya asli Sunda yang telah direvitalisasi.
Sejak 2004, mereka merevitalisasi kesenian parebut se'eng, seni gondang, kendang pencak, angklung gubrag, seni reog, rampak gendang, calung, dan jaipong.
Ada baiknya Anda menginap di kampung ini karena selain atraksi, Anda juga bisa menikmati alam dan menelusuri jejak sejarah keberadaan Kampung Budaya Sindangbarang.
Jika sempat, bisa pula mengunjungi peninggalan arkeologi di sekitarnya. (LUSIANA INDRIASARI)