Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Di Kabupaten Muba Sumsel Tanah Ini Biasa Dimakan

Sudah sejak lama warga setempat meyakini tanah tersebut mengandung khasiat dan bisa menjadi obat untuk bermacam penyakit.

Editor: Mohamad Yoenus
zoom-in Di Kabupaten Muba Sumsel Tanah Ini Biasa Dimakan
Sriwijaya Post/Candra Okta Della
Mus Mulyadi, Kepala Dusun IV Desa Taluk Kijing memperlihatkan contoh Tanah Tanampo di tepi sungai setelah diambil oleh beberapa warga tahun lalu. 

Laporan Wartawan Sriwijaya Post, Candra Okta Della

TRIBUNNEWS.COM, SEKAYU - Di dunia ini begitu banyak kejadian aneh di luar nalar pikiran manusia.

Ada yang menyeramkan, ada pula yang mengagumkan.

Seperti di Desa Telukkijing II, Kecamatan Lais, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba).

Masyarakat di desa ini biasa memakan atau mengonsumsi tanah. Tentu saja bukan sembarang tanah.

Tanah dimaksud disebut Tanah Tanampo, yakni tanah yang diambil dari dasar Sungai Musi.

Tanah Muba
Mus Mulyadi, Kepala Dusun IV Desa Taluk Kijing menunjukkan tempat warga biasa mengambil tanah Tanampo Sakti. (Foto-foto Sriwijaya Post/Candra Okta Della)

Ketika air sungai surut (biasanya Agustus), warga biasanya berbondong-bondong mengambil tanah tersebut baik untuk dimakan langsung maupun untuk obat atau keperluan lainnya.

BERITA TERKAIT

Kejadian unik ini menurut Kades Telukkijing, Margareta Hasuni sudah berlangsung lama, namun belum terpublikasi secara luas.

"Kalau sekarang air sedang besar, nanti sekitar bulan lapan (Agustus) biasanya air surut dan pasti banyak yang ngambil tanah itu," kata Margareta beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan, sudah sejak lama warga setempat meyakini tanah tersebut mengandung khasiat dan bisa menjadi obat untuk bermacam penyakit.

Bahkan tidak sedikit warga yang sengaja datang ke Desa Telukkijing untuk meminta tanah itu.

"Yang saya dengar, tanah itu digunakan untuk macam-macam. Ada yang dibuat bedak, obat sakit perut, termasuk obat demam anak-anak. Kabarnya memang manjur," katanya.

Menurutnya, biasanya tanah itu diasapi terlebih dahulu, mirip seperti membuat salai ikan atau ikan asap.

Setelah kering, baru digunakan untuk berbagai macam obat. Tanah itu, kata Margereta, berada persis di atas batu napal di dasar Sungai Musi.

Warnanya putih bersih dan jika dikonsumsi langsung rasanya mirip seperti mengunyah beras.

"Percaya atau tidak memang seperti itu rasanya. Saya sendiri pernah makan. Kalau seratnya sama seperti tanah biasa," katanya.

Tanah di Muba
Mus Mulyadi, Kepala Dusun IV Desa Taluk Kijing memperlihatkan contoh Tanah Tanampo di tepi sungai setelah diambil oleh beberapa warga tahun lalu.

Hal senada dikatakan Kasi Pemerintahan Kecamatan Lais, Nazaruddin.

Ia mengatakan, cerita mengenai tanah Tanampo tersebut memang ada dan bukan dongeng.

Sebab sampai saat ini tanah itu ada dan masih sering dikonsumsi warga.

Untuk itu, dengan diekposenya Tanah Tanampo dan peninggalan sejarah lain di Desa Telukkijing diharapkan dapat menggugah Pemkab Muba untuk terjun ke lapangan dan melihat langsung.

"Muba ini kaya dengan hasil bumi dan peninggalan bersejarah. Jadi informasi dan beberapa temuan warga hendaknya diteliti dengan serius. Kalau tidak, ya tidak ada artinya," ujarnya.

Dijelaskan, Desa Telukkijing memiliki panjang 9 kilometer, terletak di bibir Sungai Musi dan Sungai Batang Hari Leko.

"Saya masyarakat asli Telukkijing berharap pemerintah tidak tinggal diam dengan adanya peninggalan sejarah ini," katanya.

Kadus Dusun Empat, Desa Telukkijing, Mus Mulyadi menambahkan keberadaan Tanah Tanampo itu tidak terlepas dari awal mula keberadaan Desa Telukkijing yang memiliki cerita unik dan sejarah.

Dia mengatakan, Desa Telukkijing merupakan desa yang diapit dua sungai besar yaitu Sungai Musi dan Sungai Batang Hari Leko.

Desa itu juga diapit dua puyang keramat, yakni Puyang Sao dan Puyang Makan Paku, tepat di perbatasan Desa Telukkijing dan Desa Petaling.

Tidak hanya itu, kata Mus, sudah dua kali tim arkeologi datang ke desa tersebut yakni tahun 2009 dan 2012.

Mereka datang, menyusul ditemukannya serpihan yang diduga bagian dari bangunan candi di peninggalan masa Kerajaan Sriwijaya.

"Waktu itu luput dari pantauan media. Saya sendiri ikut menggali bersama enam orang menggunakan sekop dan kami menemukan beberapa benda seperti kendi, keris dan sebagainya."

"Barang temuan itu, di bawa oleh tim itu. Saya menemukan batu bata yang tersusun rapi seperti sebuah bangunan, tapi sampai saat ini belum ada tindaklanjut," kata Mulyadi.

Peninggalan Anak Durhaka

Tanah Tanampo tidak terlepas dari ceritanya yang panjang. Cerita asal muasal tanah ini hampir sama dengan Malin Kundang (di Sumatera Barat).

Konon, ada seorang pemuda bernama Dempo Awang.

Sekitar tahun 18.00-an, Dempo Awang merantau ke Palembang menumpang sebuah kapal.

Di Palembang dia berkenalan dengan anak Ginde yang kemudian memberinya modal untuk berjualan.

Pada akhirnya, dia juga menikahi anak Ginde yang memiliki paras cantik jelita, dengan sebutan Putri Ginde.

Beberapa tahun kemudian, Dempo Awang diajak istrinya jalan-jalan menyusuri Sungai Musi menggunakan kapal pribadi yang disebut Kapal Rejong.

Saat melintas di Desa Telukkijing, kapal bermuatan beras, ketan, gandum, dan kebutuhan pokok lainnya itu tiba-tiba rusak.

Dengan berat hati, Dempo Awang yang tahu desa itu tanah kelahirannya pun terpaksa menepi.

Mendengar kabar anaknya pulang dan telah menjadi saudagar kaya, dengan bergegas ibu Dempo Awang menyambutnya.

Sang ibu mendatangi kapal di tepi Sungai Musi. Sayang, meski tahu itu ibunya, Dempo Awang tak mau mengakuinya.

Singkat cerita, sambil menangis sang ibu berdoa jika memang Dempo Awang benar anaknya, dia mohon Tuhan memberikan hukuman.

Tak lama setelah sang ibu berdoa, tiba-tiba terjadi hujan petir disertai angin kencang, membuat kapal Dempo Awang beserta isinya tenggelam.

Konon, mayarakat setempat meyakini persediaan makanan Dempo Awang menjadi tanah yang kemudian dikenal dengan sebutan Tanah Tanampo Sakti.

Menurut Kades Telukkijing, Margareta Hasuni, hingga saat ini tumpukan bahan makanan Dempo Awang yang sudah menjadi tanah masih sering dikonsumsi warga.

Warga percaya, tanah tersebut memiliki khasiat dan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.

"Sekarang tanah itu hanya bisa dilihat ketika air surut, biasanya bulan Agustus," katanya.

Sumber: Sriwijaya Post
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas