Melewati Padang Savana Tambora Terasa seperti di Afrika
Semua pasti tahu, gunung yang dua abad silam mengguncang dunia dengan letusannya yang sangat dahsyat, pada 11 April 1815.
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Surya, Wiwit Purwanto
TRIBUNNEWS.COM, DOMPU - Tambora, nama yang sudah tidak asing di telinga setiap orang yang mendengarnya.
Semua pasti tahu, gunung yang dua abad silam mengguncang dunia dengan letusannya yang sangat dahsyat, pada 11 April 1815.
Letusan itu mengubur hidup-hidup empat kerajaan sekaligus dan mengakibatkan iklim dunia berubah, atau yang dikenal dengan setahun tanpa musim panas.
Atas alasan dan fenomena gunung dengan kaldera terluas di dunia ini, membuat Andik Setiawan, Head of Corporate Communications Department PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) kantor Area Jawa Bali untuk melihat dari dekat sekaligus mendaki gunung itu.
Apalagi tepat di momen peringatan dua abad Tambora pada 11 April 2015 yang menjadi perhatian masyarakat dunia.
Kaldera Tambora. (Dok Andik)
Andik mulai berkemas tanggal 9 April 2015, semua peralatan naik gunung untuk mendaki gunung dengan ketinggian 2851 Mdpl disiapkan.
Mengawali pemberangkatan dari Kota Surabaya menuju Lombok menggunakan pesawat Garuda Indonesia.
Ia tidak sendirian, tapi bersama beberapa temannya.
Baca: Mendaki Tambora: Tak Ada yang Berani Berkemah di Pos 4
Tak ada kendala yang berarti hingga sampai di Lombok, di sana sudah berkumpul pula sejumlah orang dari Jakarta yang ikut bergabung, di antaranya Adita Irawati salah satu runner yang malang melintang di marathon trail run.
Sampai di Lombok, perjalanan dilanjutkan dengan penerbangan lanjutan menuju Bima.
Penerbangan menuju Bima memakan waktu 50 menit di udara, pemandangan alam Indonesia sangat luar biasa dilihat dari udara.
Setelah 50 menit perjalanan pesawat mendarat di Bandara Sultan Salahudin, Bima Nusa Tenggara Barat.
Wooow,,, pendaratannya lumayan mengerikan, maklum selain pesawatnya baling-baling, kanan kirinya gunung, jadi harus berputar-putar mencari posisi yang tepat untuk pendaratan.
Dan akhirnya pesawat mendarat dengan sempurna. Tibalah di Bandara Sultan Salahudin Bima.
Waktu menunjukkan pukul 16.30 sore waktu Bima.
Seorang penjemput sudah menunggu dengan mobilnya di pintu depan bandara, driver itu namanya Yono, pemuda asal Bima.
Dari Bima melanjutkan perjalanan menuju Dompu. Sepanjang perjalanan relatif sepi, hampir tidak ditemui toko besar.
Untuk sampai ke Dompu dibutuhkan waktu sekitar 3 jam perjalanan, hingga akhirnya menginap di guest house di Dompu.
“Sebenarnya kalau di Jawa lebih mirip dengan kos-kosan. Tempatnya bersih, pakai kipas angin dan tentu jangan berharap ada bath up atau air hangat,” kata
Andik.
Andik.
Keesokan paginya, perjalanan dilanjutkan dari Dompu ke Desa Pancasila untuk memulai pendakian ke Gunung Tambora.
“Jika pergi ke Gunung Tambora, jangan pernah melewatkan momen melewati savana sepanjang perjalanan dari Dompu ke Desa Pancasila, tepatnya di Desa Doropeti, berasa seperti di Afrika,” ungkapnya.
Savananya luas dengan hewan ternak yang masih liar dan latar belakang Gunung Tambora yang sangat megah.
Indonesia sangat kaya, yah sangat kaya pantas jika ada yang menyebut Indonesia tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.