Ziarah ke Makam Kyai Mojo di Minahasa, Sang Penasihat Spiritual Pangeran Diponegoro
Mereka menikahi gadis bermarga Supit, Sahelangi, Tombokan, Rondonuwu, Karinda, Ratulangi, Rumbayan, Malonda, Tombuku, Kotabunan, dan Tumbelaka.
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Tribun Manado, Finneke Wolajan
TRIBUNNEWS.COM, MANADO - Kyai Muslim Muhamad Halifah atau lebih dikenal dengan Kyai Modjo adalah pejuang yang menentang kekuasaan Belanda pada tahun 1825-1830, atau dikenal dengan Perang Diponegoro.
Kyai Modjo adalah penasehat spiritual Pangeran Diponegoro.
Kyai Modjo yang lahir pada tahun 1764 ini, wafat pada 20 Desember 1849.
Ia dimakamkan di Kelurahan Wulauan, Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa.
Makamnya berada di perbukitan nan sejuk. Selain Kyai Modjo, di situ dimakamkan juga Ahmad Rifai, sang pahlawan nasional.
Sesampai di makam, pengunjung akan disambut dengan gapura selamat datang dan papan penanda makam.
Gerbang makam Kyai Mojdo
Memasuki kawasan makam, ada tulisan di papan yang menjelaskan tentang makam Kyai Modjo dan Ahmad Rifai.
Dalam penjelasannya menceritakan rombongan Kyai Modjo yang tiba di Tondano pada akhir tahun 1929 itu berjumlah 63 orang, dan semuanya laki-laki.
Mereka kemudian menikah dengan wanita Minahasa, di antaranya bermarga Supit, Sahelangi, Tombokan, Rondonuwu, Karinda, Ratulangi, Rumbayan, Malonda, Tombuku, Kotabunan, dan Tumbelaka.
Mereka kemudian beranak pinak di Kampung Jawa Tondano.
Ahmad Rifai sendiri dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 10 November 2004 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kyai Ahmad Rifai yang lahir di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah, adalah salah satu dari sekian tokoh yang bukan bagian pengikut Pangeran Diponegoro yang diasingkan di Kampung Jawa Tondano oleh Belanda.
Kyai Rifai adalah seorang ulama yang juga menikah dengan wanita Minahasa dan memiliki banyak keturunan.
Untuk sampai ke Makam Kyai Modjo, harus mendaki sejumlah anak tangga, hingga ke makam.
Anak tangga ini terlihat rapi dan bersih, diteduhi rimbun dedaunan dan dihiasi rerumputan hijau segar. Secara keseluruhan, makam ini terlihat bersih dan terawat.
Makam Kyai Modjo, satu-satunya makam di dalam kompleks yang memiliki undakan sembilan.
Di dalam cungkup Makam Kyai Mojo terdapat makam beberapa orang pengikutnya.
Makam pengikut Kyai Modjo di Minahasa.
Cungkup makam KH Hasan Maulani, yang dikenal juga dengan sebutan Eyang Lengkong, karena berasal dari Desa Lengkong, Garawangi, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Kyai Hasan, yang oleh orang Kuningan disebut Eyang Menado, ditangkap Belanda pada 1837 lalu dibawa ke Ternate.
Dari sana dipindahkan ke Kema, dan tiga bulan kemudian dibawa ke Kampung Jaton.
Selain Kyai Ahmad Rifai dan Kyai Hasan Maulani, Kampung Jaton juga menjadi tempat pembuangan para pejuang penentang penguasa kolonial Belanda yang berasal dari Aceh, Banjarmasin, Padang, Palembang, Saparua, dan Sumatera Selatan.
Di kawasan itu pula tampak makam para pengikut Kyai Modjo.
Beberapa kali Kyai Modjo oleh pemerintah Belanda melalui surat dan perantara agar beliau berdamai dengan Belanda.
Pemerintah Belanda menjanjikan kepada beliau akan diberikan kedudukan dan jabatan apabila Kyai Modjo berdamai dengan pemerintah Belanda.
Namun karena semangat kepahlawanan Kyai Modjo dengan tekad mengusir Belanda dari Pulau Jawa pada masa itu, maka segala bujukan Belanda ditolaknya.
Pada akhir tahun 1828 beliau ditangkap melalui suatu tipu muslihat dan dibuang ke Minahasa.
Dalam masa pengasingannya disertai 62 orang pengikutnya, mereka berangkat dari Batavia (Jakarta) melalui Ambon dan tiba di Minahasa di Desa Kema Kecamatan Kauditan daerah pantai Timur Minahasa pada tahun 1829.
Kyai modjo dan pengikutnya pertama kali ditempatkan oleh pemerintah Belanda di Kaburukan, bagian selatan Kema.
Selanjutnya mereka dipindahkan ke sebelah utara yaitu di Tasik Oki (Tanjung Merah).
Alasan mereka dipindahkan karena Tasik Oki adalah daerah yang berawa serta dekat dengan Gunung Klabat. Selanjutnya atas permintaan mereka, dipindahkan lagi di sebelah barat Sungai Tondano. Kemudian mereka pindah lagi ke daerah Kawak (letaknya sekarang di belakang Masjid Kampung Tegal Rejo).
Selanjutnya mereka pindah ke perkampungan yang dikenal dengan nama Kampung Jawa.
Perpindahan Kyai Modjo dan para pengikutnya atas pertimbangan pemerintah Belanda agar Kyai Modjo dan pengikutnya tidak dapat lagi melarikan diri.
Kyai Modjo dan pengikutnya menempati daerah hutan belukar dan berawa, namun tidak semua mereka kelola, sebagian tanah yang diberikan oleh pemerintah Belanda tersebut diambil oleh penduduk pribumi.
Kemudian berdirilah perkampungan Wulauan dan perkampungan Marawas tahun 1897.
Hal tersebut diperkuat dengan bukti sejarah bahwa pekuburan orang-orang Jawa dan Kyai Modjo beserta pengikutnya terletak di Kampung Wulauan yang berada di sebelah timur Kampung Jawa.
Dalam pengasingannya tersebut selain Kyai Modjo, terdapat pula beberapa ulama agama Islam antara lain Kyai Teuku Madja, Tumenggung Pajang, Pati Urawan, Kyai Baduran, dan Kyai Hasan Bedari.
Di Kampung Jawa Tondano sendiri saat ini merupakan tempat di mana berdomisili keturunan Kyai Modjo dan Ahmad Rifai.
Di kampung ini, penduduknya sangat lekat dengan budaya Minahasa.
Warga Jaton sangat mahir berbahasa Minahasa, yang sesekali tercampur dengan bahasa Jawa.
Kampung Jaton berada di tengah pemukiman warga nasrani.
Dan sejak dulu kala, kerukunan umat beragama di sini begitu erat. Bahkan saat hari-hari raya besar keagamaan, lintas agama saling menyukseskan perhelatan acara tersebut.
Untuk ke Kampung Jaton, maupun makam Kya Modjo, butuh berkendara sekitar 90 menit dari Kota Manado.
Jika menggunakan angkutan umum, dari terminal Karombasan Manado, naik jurusan Manado-Tondano.
Turun di terminal Tondano, dan bisa naik ojek atau kendaraan tradisional bendi.