Asyiknya Menyusuri Sungai di Singapura Dengan Perahu Kayu
Ini asyiknya menelusuri Sungai di Singapura menggunakan bumboat atau perahu kayu.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Sungai Singapura memiliki andil terpenting dalam perkembangan Negeri Singa. Di sisi sungai sepanjang 3,2 kilometer itu, dimulailah kisah sebuah perkampungan nelayan pada abad pertengahan yang menjelma menjadi salah satu pusat perniagaan dunia pada era modern.
Pembangunan Singapura modern diawali dari sebuah perjalanan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Sir Thomas Stamford Raffles pada Januari 1819.
Memasuki wilayah Singapura melalui mulut sungai tersebut, Raffles menganggap wilayah tersebut strategis sehingga ia memutuskan membangun pulau yang mayoritas wilayahnya saat itu masih berupa rawa menjadi sebuah pusat pelabuhan bebas.
Raffles memulai seluruh pembangunan Singapura sebagai pusat niaga dari sisi sungai tersebut. Pada tahun kedatangannya, ia membangun gedung pemerintahan di sisi utara sungai.
Sekitar empat tahun berselang, di sisi sungai tersebut dibangun Boat Quay yang menjadi kantor, gudang, dan dermaga bagi para pelaut dari sejumlah wilayah, seperti Tiongkok, India, Melayu, hingga Bugis yang berdagang di Singapura. Boat Quay adalah pusat perdagangan pertama di Singapura.
Sebuah kapal melintas di Sungai Singapura dengan latar bangunan tua di Boat Quay yang telah dipugar dan menjadi pusat pertokoan. (Kompas/Muhammad Ikhsan Mahar)
Napas pembangunan Singapura melalui tepi sungai tetap dipertahankan ketika negara itu merdeka pada 1965.
Selain melestarikan berbagai dermaga di tepi sungai, seperti Boat Quay, Clarke Quay, dan Robertson Quay, Pemerintah Singapura juga menjadikan sungai sebagai ajang mempertontonkan kedigdayaan ekonomi mereka.
Hal itu bisa disaksikan dengan kehadiran puluhan gedung pencakar langit dan tentunya Marina Bay Sands yang melatari pemandangan sungai.
Pada pertengahan Mei lalu, Kompas menelusuri Sungai Singapura menggunakan bumboat atau perahu kayu. Perjalanan dibagi dalam empat kategori wilayah, yaitu Robertson Quay, Clarke Quay, Boat Quay, dan Marina Bay.
Di tiga wilayah pertama disajikan pemandangan pusat perdagangan masa lalu berupa rumah toko (ruko) bergaya arsitektur lawas khas Eropa abad ke-20, tetapi telah dipugar kembali dengan dinding berwarna-warni.
Tak hanya itu, sejumlah gedung peninggalan kolonial Inggris juga masih berdiri kokoh. Beberapa di antaranya adalah Victoria Theater yang dibangun tahun 1862, Museum Peradaban Asia yang berfungsi sebagai gedung pengadilan pada 1865, dan Katedral Saint Andrew yang dibangun pada 1855.
Latar gedung-gedung pencakar langit yang menjadi salah satu pemandangan di sisi Sungai Singapura. Latar gedung-gedung pencakar langit yang menjadi salah satu pemandangan di sisi Sungai Singapura (Kompas/Muhammad Ikhsan Mahar )
Kesan klasik pun tercipta dari kehadiran beberapa jembatan yang membelah sungai tersebut. Jembatan-jembatan itu dibangun ketika masa kolonial Inggris.
Tak sulit mengetahui usia jembatan tersebut sebab nama dan tahun pembuatan tertulis di badan jembatan. Di antaranya ada Jembatan Coleman yang dibangun pada 1840, Jembatan Cavenagh yang dibangun pada 1869, dan Jembatan Ord yang dibangun pada 1886.
Untuk bernostalgia dengan kehidupan masyarakat Singapura tempo dulu, sejumlah patung diciptakan. Patung tersebut menjadi penanda betapa peran sungai bagi kehidupan sehari-hari warga Singapura pada masa lampau amat penting.
Ada patung First Generation yang menggambarkan lima anak yang hendak berenang ke sungai, patung A Great Emporium yang menggambarkan aktivitas pedagang di sisi sungai, dan ada patung Makan Angin yang mendeskripsikan kebiasaan keluarga di Singapura menghabiskan sore hari menikmati deburan angin sungai.
Semua patung itu mengenang kejadian pada masa lalu yang mustahil ditemui pada masa kini.
Memasuki sisi selatan sungai, pemandangan Singapura modern mendominasi.
Apabila sebelumnya cukup terlena dengan kawasan dan bangun bersejarah, pemandangan itu berganti dengan pemandangan puluhan gedung pencakar langit setinggi ratusan meter yang menjadi simbol imperium ekonomi Negeri Singa.
Selain itu, ada pula bangunan simbolik Singapura yang menghiasi sisi sungai.
Sebut saja patung ikonik Merlion, gedung pertunjukan berbentuk durian Esplanade, bangunan berbentuk tulip yang tak lain ArtScience Museum, Jembatan Helix yang menyerupai bentuk DNA, serta yang paling monumental Marina Bay Sands.
Upaya 10 tahun
Menjadikan Sungai Singapura seperti saat ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan murah, bahkan bukan pula karena peninggalan masa lalu.
Layaknya sungai di mayoritas negara Asia yang menjadi pintu masuk saudagar dari beberapa bangsa, Sungai Singapura pun terlihat kumuh oleh kehadiran kapal nelayan yang tidak teratur serta polusi oleh limbah peternakan dan pedagang pada masa lalu. Kala itu terjadi pendangkalan karena puing dan sampah banyak yang mencemari sungai.
Untuk mengembalikan daya tarik Sungai Singapura sebagai pusat peradaban, Perdana Menteri Lee Kuan Yew menggalakkan kampanye pembersihan sungai pada 1977.
Targetnya sederhana, ia ingin dalam 10 tahun warga Singapura sudah bisa kembali memancing di sungai tersebut. Dengan menghabiskan dana sekitar 170 juta dollar Singapura, Sungai Singapura kembali bersih pada 1987.
Pada tahun yang sama, dimulai pula kampanye melarang mengotori sungai atau jalan air di seluruh wilayah Negeri Singa. Alhasil, hingga kini Sungai Singapura telah menjadi daya tarik wisata serta menjadi simbol pertumbuhan ekonomi Singapura.
Dalam perjalanan itu, tak bisa ditepis impian menikmati lagi Sungai Ciliwung di Jakarta kembali dapat dilewati kapal-kapal kayu yang menjadi moda transportasi andalan sejak pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Atau melihat bocah berenang di jernihnya air sungai. Tidak lagi mencium bau tak sedap dari sungai dan menyaksikan kondisi sungai yang dangkal dan penuh sampah.
Di atas bumboat dengan pancaran matahari petang dan sepoi angin senja, Kompas mengagumi Sungai Singapura sekaligus bermimpi situasi serupa di sungai milik Ibu Kota....(Muhammad Ikhsan Mahar)