Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Nasi Tumpang Manten Anyar, Hidangan Penangkal Dinginnya Lereng Gunung Lawu di Karanganyar

Dinginnya lereng Gunung Lawu di Karanganyar bisa ditolong dengan santapan Nasi Manten Tumpang Manten Anyar, wedang jahe dan camilan.

Editor: Agung Budi Santoso
zoom-in Nasi Tumpang Manten Anyar, Hidangan Penangkal Dinginnya Lereng Gunung Lawu di Karanganyar
Kompas/ Mawar Kusuma Wulan
Nasi tumpang manten anyar, wedang jahe panas dan makanan ringan, penangkal dinginnya suhu udara di lereng Gunung Lawu di Karanganyar, Jawa Tengah (Kompas/ Mawar Kusuma Wulan) 

TRIBUNNEWS.COM - Kehadiran hik, kependekan dari hidangan istimewa kampung, mewarnai lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar. Keramaian di gerobak hik berlanjut hingga dini hari menghangatkan malam dengan tegukan wedang dan kudapan khas pedesaan di bar ala kampung itu.

Serupa dengan bar, hik disukai karena menyuguhkan aneka minuman yang menghangatkan tubuh. Namun, jangan cari minuman beralkohol di sini.

Minuman di sini terbuat dari racikan herbal, seperti jahe, kencur, dan secang. Warung hik sebenarnya banyak dijumpai di sudut-sudut kota di Jawa Tengah, salah satunya yang sayang dilewatkan adalah Hick Gaul Pak Mul.

Warung Hick Gaul Pak Mul terletak di Jalan Lawu Karanganyar, sekitar 30 kilometer dari Kota Solo, Jawa Tengah. Buka dari pukul 17.00, antrean panjang sudah tampak sesaat sebelum gerobak hik dibuka.

Pengunjung harus menunggu sampai nasi selesai dimasak. Sembari menunggu nasi dan lauknya siap dihidangkan, mereka mengganjal perut dengan aneka penganan.


Warung Hick Gaul Pak Mul di Jalan Lawu Karanganyar, Jawa Tengah, menyajikan makanan tradisional dengan harga seporsi nasi tumpang Rp 4.000.   (Kompas.com/ Mawar Kusuma Wulan)

Meskipun mengubah diri dengan nama hick alias hidangan istimewa cah Karanganyar, ciri-ciri hik tradisional masih kental dipertahankan.

Di masa lampau, pedagang hik berkeliling kampung menjajakan wedang hangat dan beragam camilan. Awalnya, penjual yang seluruhnya laki-laki ini memikul dagangan menyusuri jalanan pedesaan. Sembari berjualan mereka meneriakkan kata,”hik...!”

Berita Rekomendasi

Satu pikulan hik berisi dandang air panas yang dijaga agar tetap panas. Pikulan lain sesak oleh jajanan, seperti aneka gorengan, pisang rebus, kelepon, atau sate telur puyuh. Penjajanya berkeliling dengan penerangan lampu teplok.

Dari pikulan, hik lalu dijajakan dengan gerobak dorong sebelum kemudian lebih banyak mangkal di lokasi tertentu. Jika wong Solo dan sekitarnya mengenal istilah hik, warga Yogyakarta dan Klaten menjuluki konsep ”bar” jalanan ini sebagai angkringan. Satu hal yang sama, hik ataupun angkringan menjajakan kesederhanaan makanan pedesaan yang murah.

Hick Gaul Pak Mul kini memilih berjualan dengan gerobak yang hanya berfungsi sebagai simbol hik. Walau memiliki roda, gerobak kayu ini hanya mangkal di tepi jalan. Kudapan yang tak muat di gerobak lantas ditata di meja panjang.

Untuk melayani konsumen yang terus membeludak hingga pukul 01.00, Hick Gaul ini mempekerjakan hingga 15 karyawan.


Pendaki di Gunung Lawu

Pengunjung yang tak tertampung di bangku panjang sekitar gerobak lantas duduk lesehan di trotoar yang ditutup terpal plastik. Karena mangkal di depan rumah pemiliknya, teras rumah pun diubah menjadi tempat lesehan.


Setiap hari, rata-rata 200 orang menikmati santapan ala Hick Gaul Pak Mul. Pada akhir pekan dan hari libur, jumlah pengunjung bisa membeludak lebih dari 500 orang.

Nasi manten anyar

Hick Gaul Pak Mul digandrungi karena menu kudapan dan minumannya yang istimewa. Berbeda dengan hik lain yang memakai jasa pihak ketiga untuk memasok beragam makanan yang dihidangkan, seluruh hidangan yang tersaji dibuat sendiri di dapur rumah pasangan pemilik Hick Gaul, Lasno Agung Mulyono dan Sri Mulyani.

Untuk kudapan saja ada lebih dari 20 jenis penganan. Baru tutup dini hari, Mulyono harus siap berburu bahan masakan segar di pasar tradisional pada pagi harinya.

Sang istri, Mulyani, memercayakan pengolahan masakan kepada para karyawannya. Seusai menjalankan profesi sebagai kepala sekolah di SDN Kemuning, Karanganyar, Mulyani baru akan turut berkutat di dapur.

Sejak sore hari, aneka gorengan, seperti singkong goreng, tahu tempe goreng, pisang rebus, dan aneka sate, telah tersaji di gerobak hik.

Di sebuah meja kayu panjang, nasi panas mengepulkan asap bersanding dengan bubur panas. Beragam pilihan lauk pendamping nasi pun tersedia, dari sambal tumpang, garang asem, botok, hingga opor ceker.

Sambal tumpang menjadi menu andalan dengan nama julukan nasi manten anyar. Sambal tumpang terbuat dari olahan tempe busuk dan santan kelapa yang disantap berteman aneka sayuran.

Dijuluki dengan nama nasi manten anyar karena sambal ini dituang di atas rebusan sayuran. Seperti manten anyar (pengantin baru) senangnya tumpang tindih,” kata Mulyani sembari bercanda.

Rasa sambal tumpang nan gurih berpadu sempurna dengan rebusan daun pepaya, kembang turi, dan kacang panjang. Rasa daun pepaya jauh dari pahit karena direbus bersama daun kecubung.

Saat dihidangkan, nasi manten anyar ini dibubuhi ceker ayam. Sambal tumpang sengaja tak memakai olahan daging dan diganti dengan tahu. Satu porsi nasi manten anyar yang sangat mengenyangkan ini hanya Rp 4.000.

Selain sambal tumpang yang hadir dengan nama baru, ada pula nasi garang asem jamur yang dijuluki sayur ganja dan nasi cucu ikan paus alias nasi teri. ”Lauk kami sederhana.

Banyak pelanggan yang sudah menghindari daging. Justru banyak yang suka karena merakyat dan sederhana. Konsepnya mengusung masakan tradisional Jawa. Yang penting masakan kampung,” ujar Mulyani.

Kudapan carang gesing juga dihadirkan dengan julukan baru, yaitu pisang tanpa tulang. Carang gesing yang terbuat dari olahan pisang kepok dalam bungkus daun pisang ini menjadi kudapan favorit dengan rasanya yang manis legit.

Nama-nama aneh sengaja dihadirkan untuk menarik keingintahuan pembeli. Setiap hari, menu santapan yang disuguhkan selalu berbeda.

Sama seperti hik tradisional lain, wedang menjadi pesona utama. Beragam wedang hangat menjadi minuman andalan yang digandrungi pembeli. Seduhan jeruk nipis, jahe, kencur, plus gula batu paling banyak dipesan pelanggan. Variasi wedang lain adalah jahe teh tape, jahe gepuk gula jawa, jahe secang, dan masih banyak lagi.

Suguhan lelucon

Lontaran guyonan dan keramahan penjual hik juga menjadi suguhan yang memberi warna. Pembeli seolah menemukan sahabat sehingga betah nongkrong sembari ngobrol beragam hal di warung hik. Tak heran jika pelanggan pun masih berdatangan hingga lewat jam tutup warung.

Jika tempat duduk di depan gerobak mulai penuh, Mulyono biasa berteriak ”serkong... serkong” alias geser bokong. Pelanggan yang sudah paham segera menggeser tempat duduk untuk memberi ruang bagi tamu lain.

Mengandalkan kejujuran, pembeli bebas mengambil kudapan dan mengingat-ingat sendiri apa saja yang sudah disantap.

Sempat merantau sebagai tenaga kerja di Malaysia, Mulyono kemudian pulang kampung dan merintis usaha hik pada 2002. Awalnya, ia mangkal di pertigaan lampu merah di daerah Bejen, Karanganyar.

Pelanggannya kemudian berkembang dari anak-anak muda rekan sekolah anaknya menjadi keluarga hingga tamu-tamu dari luar kota. ”Mending hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di luar negeri,” kata Mulyono. ”Hiikk..!" (Mawar Kusuma)

Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas