Masjid Pathok Negoro Babadan, Bantul, Sempat Diruntuhkan Jepang Tapi Berdiri Lagi Hingga Kini
Tidak hanya menjadi pusat beribadah, masjid pada masa awal berdirinya Keraton Yogyakarta juga memiliki beragam fungsi.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribun Jogja, Hamim Thohari
TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Sebagai kerajaan Islam, Keraton Kasultanan Yogyakarta memiliki cukup banyak bangunan masjid.
Tidak hanya menjadi pusat beribadah, masjid pada masa awal berdirinya Keraton Yogyakarta juga memiliki beragam fungsi, salah satunya sebagai tanda kekuasaan Keraton Yogyakarta.
Masjid ini terletak di Dusun Babadan Kauman, Kelurahan Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. (Tribun Jogja/Hamim)
Di wilayah kekuasaan Keraton Yogyakarta terdapat empat masjid bernama Masjid Pathok Negoro.
Empat masjid tersebut berada di sisi barat, utara, timur, dan selatan Keraton Yogyakarta.
Sesuai dengan namanya, Pathok Negoro yang berada tanda negara, keempat masjid tersebut menjadi tanda wilayah kekuasaan dari Keraton Yogyakarta
Masjid Ad-Darojat Babadan adalah salah satu masjid pathok negara yang didirikan oleh Sultan HB I pada tahun 1774.
Masjid yang terletak di Dusun Babadan Kauman, Kelurahan Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul tersebut mengalami sejarah yang panjang.
Pada zaman penjajahan Jepang yakni pada tahun 1940, Masjid Ad-Darojat dan masyarakat Babadan dipindah ke Desa Badabadan Jl. Kaliurang, Kentungan, Sleman.
Perpindahan ini dikarenakan saat itu daerah Babadan dijadikan gudang mesiu oleh pemerintah Jepang.
Dijelaskan oleh Suhari selaku sekretaris Masjid Ad Darojat, akibat perpindahan tersebut kehidupan kampung Babadan sebagai kampung santri menjadi mati.
“Saat warga Babadan dipindahkan ke daerah Babadan Baru, seluruh konstruksi kayu dibawa pindah oleh masyrakat untuk membangun masjid di tempat baru mereka,” ungkap Suhari.
Masyarakat Babadan yang pindah ke Babadan Baru kemudian membangun masjid yang kemudian dinamai Masjid Sultan Agung.
Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia ke-2 yang akhirnya seluruh personil dan tentaranya meninggalkan kampung Babadan, sekitar tahun 1950-an mulai banyak masyarakat yang datang ke kampung Babadan dan akhirnya menetap di sana.
“Walaupun mulai banyak warga yang berdatangan dan mentap di kampung Babadan, tetapi kondisi masjid Pathok Negoro tidak terurus. Pada saat itu bangunan masjid tinggal pondasinya saja, dan dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk menjemur padi,” ungkap Suhari.
Bahkan pada masa PKI, bekas reruntuhan masjid Pathok Negoro Babadan akan dijadikan sebagai panggung pegelaran Ketoprak.
Pada tahun 1960-an salah seorang warga Babadan bernama Kyai Muthohar mempunyai niat untuk membangun kembali masjid peninggalan Sultan Hamengkubuwono I tersebut.
Pembangunan kembali masjid tersebut dilakukan semasa Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
“Sebelum pembangunan ulang Masjid Pathok Negoro Babadan, Kyai Muthohar saat itu meminta izin terlebih dahulu kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dan Sultan pada saat itu mengizinkan dan ikut membantu proses pembangunan masjid,” kata Suhari. Nama Ad-Darojat sendiri berasal dari nama kecil Sri Sultan Hamengkubuwono IX yaitu Darojatun.
Meski Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat dibangun ulang jauh setelah masa pembangunan masjid aslinya, namun bentuk khas sebagai masjid kraton masih tetap dipertahankan.
Bangunan masjid berbentuk joglo dengan empat tiang sebagai penopang bangunan dan memiliki atap berbentuk tumpang.
Karena latar belakang sejarah, antara warga Babadan dengan Babadan Baru Kentungan meski terpisah secara geografis namun tetap terjalin hubungan yang harmonis.
Setiap tahun menjelang datangnya bulan suci Ramadan, banyak warga Babadan Baru yang datang ke Babadan untuk menggelar acara tradisi nyadran ke makam leluhur mereka yang terletak di barat masjid.
Ditambahkan oleh Suhari, masjid Pathok Negoro Babadan pada awal berdirinya selain digunakan untuk tempat beribadah, juga digunakan sebagai pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta wilayah Timur.
“Dulu jika ada persoalan di masyarakat yang tidak terlalu berat akan diselesaikan oleh hakim yang disebut Qodi. Hakim-hakim tersebut ada di seluruh masjid Pathok Negoro sebagai perwakilan pemerinthan kerajaan,” terang Suhari.
Dijelaskan oleh Suhari, masjid pathok negoro selain sebagai tempat ibadah adalah sebagai pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta di sekitar wilyah masing-masing.
“Kasultanan Yogyakarta memiliki banyak masjid, tetapi yang memiliki fungsi Pathok Negoro hanya empat masjid, yaitu masjid Pathok Negoro Mlangi, Plosokuning, Dongkelan dan Babadan ini,” pungkas Suhari.(*)