Rumah 'Penculikan' Sukarno-Hatta Rengasdengklok, Karawang, Minim Informasi dan Petunjuk Arah
Rengasdengklok berjarak sekitar 15 kilometer dari jalan utama yang termasuk bagian dari jalur pantura.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, KARAWANG - Satu hari sebelum Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, atau pada 16 Agustus 1945, Sukarno - Mohamad Hatta 'diculik' oleh sejumlah pemuda dan dibawa ke Rengasdengklok Karawang Jawa Barat.
Rumah Djiauw Kie Siong telah dipindahkan dari lokasi aslinya pada 1957. (BBC Indonesia)
Di sana kedua orang yang kemudian menjadi proklamator Kemerdekaan Indonesia itu singgah di sebuah rumah milik Djiauw Kie Siong salah seorang dari pasukan Pembela Tanah Air (Peta).
BBC Indonesia mengunjungi rumah yang menjadi saksi sejarah Proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Di rumah Djiauw Kie Siong yang semula berada di pinggiran sungai Citarum dipindahkan di lokasi yang berjarak sekitar 150 meter dari tempat asli di Kampung Bojong Rengasdengklok, pada 1957.
Menurut cucu Kie Siong, Djiauw Kim Moy, bangunan rumah dan bagian ruang tamu masih asli termasuk juga lantai ubin berwarna terakota yang biasa digunakan untuk rumah peranakan Tionghoa.
Dua kamar yang sempat digunakan Sukarno dan Hatta juga masih dipertahankan bentuk aslinya.
Bahkan ranjang tua dari kayu jati pun masih ada di kamar yang sempat digunakan Bung Hatta untuk beristirahat.
"Ini ranjang masih asli, tetapi di kamar Bung Karno bukan, karena yang asli telah dibawa ke museum di Bandung," jelas Kim Moy.
Di ruang tamu dipajang sejumlah foto Sukarno dan Kie Siong, termasuk foto Megawati dan Jokowi yang sempat berkunjung ke rumah tersebut.
Sejumlah foto Sukarno dipajang di ruang tamu rumah Djiauw Kie Siong. (BBC Indonesia)
Para pemuda memilih rumah Djiauw Kie Siong, karena dekat dengan markas Peta yang sekarang dijadikan Monumen Kebulatan Tekad.
Dan mengapa Rengasdengklok ? Karena lokasi yang berjarak sekitar 81 kilometer dari Jakarta itu jauh dari jangkauan pengawasan tentara Jepang.
Rengasdengklok berjarak sekitar 15 kilometer dari jalan utama yang termasuk bagian dari jalur pantura.
Bahkan saat ini pun perjalanan ke rumah Djiauw Kie Siong pun masih terasa jauh dan agak terpencil.
Hanya papan bertuliskan bangunan ini merupakan cagar budaya yang menjadi petunjuk lain tak ada rumah ini memiliki sejarah. Di gapura rumah yang terbuat dari besi tertulis RM Sejarah.
Meski demikian, rumah tersebut seringkali didatangi para pengunjung, antara lain Rudianto dari Kawarang.
"Saya sudah beberapa tahun tinggal di sini, tak pernah ke sini dan ingin melihat bagaimana rumah tempat penculikan Sukarno dan Hatta yang saya ketahui sejak SD," jelas dia.
Dia mengaku sulit untuk mencari rumah Djiauw. Sementara Adi Purwanto warga Bogor mengaku sedikit kecewa karena tidak terlalu banyak informasi yang didapat mengenai kejadian malam 16 Agustus 45 di rumah tersebut.
"Ada kamar saja dan sejumlah foto, seharusnya ada juga informasi tambahan dari sejarah tentang rumah ini, selain dari pemiliknya," kata Adi.
Alasan Penculikan
Kamar yang sempat digunakan Bung Karno untuk beristirahat. (BBC Indonesia)
"Penculikan" pun dilakukan dengan maksud agar kemerdekaan Indonesia dipercepat.
Namun menurut sejarawan JJ Rizal, tindakan pemuda itu dinilai malah memperlambat pembacaan teks proklamasi.
"Jadi ketika diculik, Bung Hatta tengah menyusun teks proklamasi kemudian para pemuda membawanya dari kediamannya bersama Sukarno, itu yang membuat Bung Hatta marah karena seharusnya teks proklamasi dibacakan lebih cepat jika mereka tidak dibawa para pemuda," jelas JJ Rizal.
Terlebih di Rengasdengklok tidak ada yang dilakukan oleh Sukarno-Hatta.
Setelah beristirahat di rumah asli Djiauw sampai 16 Agustus malam, Sukarno- Hatta akhirnya 'ditemukan' oleh Ahmad Subardjo dan Soediro.
Kemudian mereka dibawa kembali ke Jakarta.
Sesampainya di Jakarta, Sukarno- Hatta yang masih didampingi tokoh pemuda Sukarni menuju beberapa tempat dan akhirnya sampai di rumah Laksamana Maeda di Jl. Imam Bonjol, yang sekarang menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Teks proklamasi yang dirumuskan pada 17 Agustus 1945 dini hari itu kemudian dibacakan oleh Sukarno, didampingi Bung Hatta di Jakarta.
(Sri Lestari/BBC Indonesia)