Melintasi 'Lorong Waktu' dan Melihat Jejak Perjalanan Kebo Iwa di Pura Maospahit
Menurut Jro Mangku Gede, hingga saat ini bangunan dan setiap elemen yang ada di Pura Maospahit tetap sesuai dengan pertama kali ada.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribun Bali, Cisilia Agustina S
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Melintasi kawasan Sutomo, Denpasar, Bali, tampak beberapa tempat bersejarah peninggalan zaman dahulu.
Satu di antaranya Pura Maospahit, yang juga menjadi satu destinasi wisata religi sekaligus bersejarah.
Disebut juga dengan Pura Maospahit-Grenceng, karena lokasinya berada di dekat Bale Banjar Grenceng.
Pura ini selalu menarik minat wisatawan, terutama wisatawan asing. (Tribun Bali/Cisilia Agustina
Menurut Jro Mangku Ketut Gede Sudiasna, dengan luas sekitar 77 are, pura ini dibangun sejak 1200 Tahun Saka.
Pembangunannya digagas oleh Kebo Iwa, hingga kemudian selesai dibangun, yakni pada 1475 Saka.
Usianya yang terbilang sangat lama, yang kemudian menjadikan Pura Maospahit ini sebagai satu di antara cagar budaya nasional di Kota Denpasar, situs peninggalan yang dilindungi oleh UU RI No 5 Tahun 1992.
Namun, kapan dan alasan mengapa tempat ini secara resmi dijadikan sebagai cagar budaya, Jaro Mangku Gede mengaku masih belum mendapatkan datanya.
“Sampai saat ini saya masih belum bisa mendapatkan data dan apa dasar pura ini menjadi satu cagar budaya,” ujarnya.
Pemugaran pun sudah dilakukan guna mempertahankan pura ini mulai 1958 hingga 1990.
Aktifitas warga di dalam Pura Maospahit. (Tribun Bali/Cisilia Agustina)
Karena berbagai macam kondisi alam tak terduga, seperti bencana alam, peninggalan bersejarah ini pun tak luput dari kerusakan.
“Banyak mengalami kerusakan karena kondisi alam. Kemudian dari Dinas Purbakala berinisiatif untuk mengembalikan kondisinya seperti sediakala,” ujar Jro Mangku Gde.
Proses pemugaran dilakukan tanpa mengubah kondisi aslinya.
Setiap perbaikan dilakukan secara bertahap dan detil, dengan mengacu pada tatanan lay out asli.
Menurut Jro Mangku Gede, hingga saat ini bangunan dan setiap elemen yang ada di Pura Maospahit tetap sesuai dengan pertama kali ada.
“Semuanya masih asli. Proses perbaikannya, satu per satu diberi nomor kemudian disusun mengikuti acuan tatanan yang asli oleh para ahli bangunan kuno dari Dinas Purbakala,” tambah Jro Mangku Gde.
Meskipun tampak sepi dari area depan pura, tetapi masih ada wisatawan yang datang setiap hari. Khususnya karena telah menjadi satu cagar budaya nasional.
Pura Maospahit. (Tribun Bali/Cisilia Agustina)
Banyak wisatawan asing yang katanya datang untuk menapak tilas jejak sejarah leluhur mereka di sini.
Tak hanya itu, dari pihak Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Denpasar juga menjadikan Pura Maospahit ini sebagai satu di antara destinasi wisata dalam program Denpasar Heritage City Tour, yang mulai digalakkan kembali sejak awal 2015 ini.
“Dari sebelum ada program tersebut, tempat ini sudah dikunjungi oleh wisatawan. Namun, mungkin karena lokasinya berada di Kota Denpasar, kemudian dijadikan satu bagian dari Denpasar City Tour,” ujar Jro Mangku Gede.
Sekilas dari area depan, Pura Maospahit tampak sepi seperti tidak ada siapapun yang menghuni.
Namun, ternyata pintu masuknya berada di sebelah barat, yakni melewati sebuah gang kecil di sebelahnya.
Dari sana kemudian tampak Kori pintu gerbang sebagai akses pintu masuk menuju pura.
Saat Anda masuk ke dalamn akan tampak ibu-ibu yang sibuk membuat sesajen dan berbagai perlengkapan untuk sembahyang.
Panca Mandala
Dari segi arsitektur sendiri, Pura Maospahit tampak mendapatkan pengaruh dari Kerajaan Majapahit.
Untuk itulah namanya memiliki kemiripan.
Menurut Jro Mangku Gede, jika pada pura pada umumnya menerapkan tri mandala atau tiga area, Pura Maospait terdiri dari panca (lima) mandala.
Mandala pertama ada di depan dengan pintu gerbang yang bernama Candi Kusuma menghadap langsung ke Jalan Sutomo.
Di dalam mandala tersebut terdapat Bale Kembar, Bale Kulkul, Palinggih Ratu Ngerurah Pengalasan, dan Piasan.
Pada penyengker sebelah barat, di bagian pojok selatan ada pintu gerbang yang kokoh dan tinggi menghadap ke sebelah barat, yakni Candi Rengat.
Ini merupakan pintu gerbang menuju mandala dua.
Menurut Jro Mangku Gede, gang selebar dua meteran untuk menuju gerbang berikutnya ini adalah mandala kedua.
Dengan menyusuri gang ini, kemudian akan menemukan Candi Rebah, mandala ketiga yang juga disebut Jaba Sisi.
Di sebelah timur mandala ini ada Candi Bentar yang kekar dan juga unik.
Pada Candi Bentar yang tersusun dari bata-bata merah ini, tampak ada relief Bima yang besar yang dililit oleh dua naga.
Menurutnya ini yang menjadi keunikan karena pura lain biasanya menempatkan patung yang terpisah dari gapura.
“Ini keunikannya ada relief yang diukir langsung pada dinding gapura. Biasanya patung-patung yang dibuat terpisah,” ujar Jro Mangku Gede.
Dengan melintasi Candi Bentar ini, memasuki mandala keempat yang disebut Jaba Tengah.
Terdapat sejumlah bangunan suci di Jaba Tengah ini, yaitu Bale Pasucian, Bale Tajuk, serta Bale Sumanggen.
Dari mandala ketiga ini, setelah melewati Kori Agung yang tinggi menjulang, masuk ke mandala kelima atau mandala utama.
Kawasan ini disebut juga dengan Jeroan, yang terdapat bangunan-bangunan utama dari Pura Maospait.
Di antaranya adalah Candi Raras Maospait, Candi Raras Majapahit, Batara Taksu, Bale Pangayunan, Bale Patirtan, Bale Piasan, hingga beberapa palinggih.
Sewajarnya datang ke sebuah tempat suci, peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hal spiritual pun berlaku di sini.
Seperti menggunakan pakaian rapi dan sopan, termasuk dengan mengenakan pakaian adat yang disediakan.
Dan beberapa aturan lainnya terkait kawasan suci dan sakral. (*)