Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Berburu Madu Pahit di Hutan Pelawan, Bangka Belitung

Kawasan Hutan Pelawan yang terletak di Desa Namang, 40 menit dari Bandar Udara Depati Amir, cocok untuk jadi alternatif liburan di Bangka Belitung.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Berburu Madu Pahit di Hutan Pelawan, Bangka Belitung
Kompas.com/Mentari Chairunisa
Pengunjung berfoto di pintu masuk Kawasan Hutan Pelawan di Desa Namang, Kabupaten Bangka Tengah. 

TRIBUNNEWS.COM, PANGKALPINANG – Menjadi hal yang lumrah bila madu memberikan rasa manis ketika menyentuh indra pengecap.

Namun, bagaimana bila madu justru meninggalkan rasa pahit saat dikonsumsi?

Di Desa Namang, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung, madu pahit bukanlah menjadi hal yang asing.

Madu-madu tersebut dihasilkan dari kawanan lebah liar Avis dorsata yang menyedot sari bunga pelawan.

Uniknya, pelawan merupakan pohon endemik dari Desa Namang.

Dari pohon berbatang merah tersebut muncul produk-produk baru, mulai dari madu pahit hingga jamur pelawan.

Penasaran ingin melihat langsung pohon pelawan beserta sarang lebah penghasil madu pelawan?

Berita Rekomendasi

Kawasan Hutan Pelawan yang terletak di Desa Namang, sekitar 40 menit dari Bandar Udara Depati Amir, cocok untuk jadi alternatif liburan Anda kala mengunjungi Kepulauan Bangka Belitung.

Secara keseluruhan, Hutan Pelawan memiliki luas sekitar 300 hektare.

Luas ini terus berkembang seiring berjalannya waktu.

Padahal ketika pada mulanya berdiri, Hutan Pelawan hanya memiliki luas sekitar 50 hektare.

Dalam kawasan yang dicanangkan sebagai kawasan hutan lindung ini, pengunjung bisa melihat langsung sarang lebah penghasil madu pelawan.


Sarang tersebut merupakan sarang buatan yang biasa disebut sunggau.

Sunggau mulanya hanya sebuah batang kayu yang dimiringkan sekitar 70 derajat guna menjadi tempat hinggap para lebah.

Membuat sunggau pun tak semudah yang dibayangkan.


Sunggau atau sarang lebah yang ada di Hutan Pelawan. (KOMPAS.com/Mentari Chairunisa)
 

Mulanya, para petani lebah harus mencari jalur terbang para lebah.

Sunggau yang dibuat di luar jalur lebah tidak akan disinggahi para lebah.

Golok yang digunakan untuk membuat sunggau pun harus terjaga dengan baik.

Golok tersebut tidak boleh digunakan untuk memotong rempah-rempah dan juga tidak boleh terkena oleh kulit manusia.

"Golok tidak boleh kena badan kita, sama rempah juga, itu nanti lebahnya enggak mau karena rasa kayunya beda," ujar salah satu petugas Hutan Pelawan, Zainudin.

Lebah-lebah tersebut biasanya menetap sembari membuat sarang selama 3-4 bulan sebelum akhirnya bisa dipanen.

Lamanya waktu bergantung pada banyaknya bunga yang ada di sekitar sunggau.

Zainudin mengatakan satu sunggau bisa menghasilkan hingga 12 botol madu.

Madu pahit dianggap memiliki beragam manfaat untuk tubuh, seperti untuk pengobatan diabetes, kanker, anti tumor, jantung, dan juga maag.

Masyarakat Bangka Belitung juga menggubakan madu pelawan untuk menyembuhkan luka bakar, obat batuk, serta media terapi kesehatan seperti patah tulang dan kelumpuhan.

Selain menghisap sari bunga pelawan dan menghasilkan madu pahit, lebah-lebah luar ini juga menghisap jenis bunga lainnya, seperti leting, rempodong, ulas, dan juga kabal.

Rasa madu yang dihasilkan pun berbeda yakni cenderung manis layaknya madu pada umumnya.

Puas melihat sunggau lebah, pengunjung juga bisa melihat tempat tumbuhnya jamur pelawan. Jamur pelawan.

"Waktu itu ada yang meneliti dan mereka bilang ini endemik dari sini," kata Kepala Desa Namang yang juga menjadi Ketua Taman Keanekaragaman Hayati, Zaiwan.


Trek di Kawasan Wisata Hutan Pelawan berdiri seluas kurang lebih 10 hektare dari total keseluruhan hutan lindung seluas 300 hektare.  (KOMPAS.com/Mentari Chairunisa)
 

Hal itulah menurut Zaiwan yang menjadi alasan Hutan Pelawan wajib untuk dikunjungi.

Selain melihat tanaman asli Desa Namang, pengunjung juga bisa melihat tumbuhnya jamur pelawan yang juga jadi ciri khas desa ini.

Jamur pelawan hidup di sekitar area tumbuhnya pohon pelawan. Katanya, jamur pelawan memiliki ukuran tinggi lebih dibanding jenis jamur lainnya.

Selain itu, warna merah akan terlihat menyala dari jenis jamur ini.

Sayangnya, KompasTravel belum beruntung untuk melihat secara langsung jamur pelawan ini.

Menurut Zaiwan, musim kemarau panjang yang tengah terjadi membuat jamur-jamur tersebut urung muncul.

"Tapi nanti setelah kemarau lalu hujan pertama kali, nanti akan muncul (jamurnya)," imbuhnya.

Untuk merasakan sensasi blusukan di Hutan Wisata Pelawan, pengunjung hanya perlu membayar uang parkir senilai Rp 3.000 untuk motor dan Rp 5.000 untuk mobil.

Pengunjung juga bisa membeli langsung madu pelawan seharga Rp 80.000 per botol untuk madu manis, dan Rp 200.000 untuk madu pahit.

Sementara jamur pelawan yang sudah dikeringkan dihargai Rp 170.000 per kotak.


Madu pahit menjadi salah satu ciri khas dari Hutan Pelawan. (KOMPAS.com/Mentari Chairunisa)
 

Wisata Malam Hutan Pelawan

Blusukan di Hutan Wisata Pelawan juga mengasyikkan jika dilakukan pada malam hari.

Menurut Zaiwan, pada malam hari akan muncul hewan-hewan nokturnal yang bisa dilihat dari dekat.

Salah satunya adalah tarsius. Hewan yang oleh penduduk lokal disebut muntilin ini biasanya akan muncul kala gelap.

Wisata malam di Hutan Wisata Pelawan ini dihargai senilai Rp 750.000 per rombongan dengan maksimal 10 orang.

Selain melihat hewan-hewan nokturnal, pengunjung juga bisa melihat burung-burung liar yang turun untuk mencari makan di pagi hari.

Biasanya, burung-burung tersebut muncul sekitar pukul 05.00 – 05.30.

Jika beruntung, pengunjung juga bisa mendengar suara burung yang saling bersautan di pagi itu. (Mentari Chairunisa)

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas