Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Arief Yahya: Kebijakan Jokowi Bikin Optimis Kami Kejar Target 20 Juta Wisman di tahun 2019

Puluhan tahun Kemenpar RI mencari jalan untuk membebaskan visa kunjungan ke Indonesia, selalu terbentur problem regulasi

Editor: Toni Bramantoro
zoom-in Arief Yahya: Kebijakan Jokowi Bikin Optimis Kami Kejar Target 20 Juta Wisman di tahun 2019
Foto Dhani Irfan
Arief Yahya 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sektor pariwisata adalah satu-satunya way out yang paling cepat, paling konkret, paling mudah, dan paling bisa di-push. Presiden Jokowi betul-betul menyadari hal itu.

Wajar, jia berbagai kebijakan penajaman di koridor pariwisata ini tidak berpanjang waktu, tidak berbusa-busa, go ahead!

Bebas Visa Kunjungan (BVK) adalah contoh nyata. Puluhan tahun Kemenpar RI mencari jalan untuk membebaskan visa kunjungan ke Indonesia, selalu terbentur problem regulasi.

Bulan Juni 2015, Presiden Jokowi langsung meneken Perpres No 69 tahun 2015, tentang tambahan 30 negara bebas visa kunjungan. Dengan Perpres itu, maka ada 15 yang lama, plus 30 negara baru, total 45 negara di-BVK-kan.

Tak lama kemudian, bulan Oktober 2015, mantan Gubernur DKI dan Walikota Solo itu menandatangani Perpres 105 tahun 2015, dengan tambahan 45 negara lagi.

Total 90 negara bebas masuk ke Indonesia untuk berwisata, tidak perlu pusing-pusing mengurus Visa dan membayar USD 35 per stempel.

Demi pariwisata, orang nomor satu di negeri ini, membuat percepatan, lompatan, meregulasi ulang, dan borderless di sektor pariwisata.

BERITA TERKAIT

Menpar Arief Yahya menambahkan, kebijakan Presiden Jokowi itulah salah satu yang membuatnya optimis mengejar target 20 juta wisman di tahun 2019 kelak.

Tanda-tanda itu sudah terasa. Bintan yang berpuluh-puluh tahun menjadi kawasan pariwisata yang eksklusif, saat dibuka BVK, langsung menanjak hebat, bahkan mengalahkan capaian Batam, di bulan September 2015.

“Pelabuhan Bandar Bintan Telani September 2015 menembus 48,68%, mengalahkan gabungan antara Batam Center 25,57%, Sekupang 10,87%, Nongsa 7,6%,” jelas Arief Yahya.

“Yang lebih membanggakan lagi, wismannya, nomor satu berasal dari Tiongkok 30,9%, Korea 20,9%, Jepang (13.37%), Inggris 10,4% dan Amerika Serikat 6,16%. Cara membacanya adalah, makin banyak ekspatriat dan wisatawan yang ada di Singapore mampir ke Batam-Bintan, karena jarak dekat, dan harga yang jauh lebih murah. Great Batam paling cepat reaksinya terhadap kebijakan bebas via tertentu,” urainya.

Bukan hanya itu, Presiden Jokowi juga membuka akses CAIT, untuk yacht (perahu pesiar) dan CABOTAGE untuk cruise (kapal pesiar).

Bagi yachter tidak perlu lagi repot-repot sebagaimana sebelumnya diperlakukan seperti impor barang barang mewah, dengan bilangan pajak impor yang tidak kecil. Sekarang di bebaskan, diperukan seperti wajarnya di imigrasi.

Barang di declare costume, orangnya masuk tanpa visa bagi mereka yang berasal dari 90 negara yang sudah diberi kelonggaran dengan Bebas Visa Kunjungan itu.   

Begitu pun Cabotage, bagi kapal-kapal pesiar. Tidak harus kapal yang berbendera Indonesia yang boleh menurunkan dan menaikkan penumpang di pelabuhan di Indonesia.

Kapal asing juga boleh. Dengan begitu, tour operator asing mulai bisa menjual paket wisata bahari di Indonesia. Tentu, ini pengaruhnya tidak langsung sekarang, tetapi ke depan memberi peluang yang besar bagi hadirnya wisman dengan cruise.

“Bebas Visa, Penghapusan CAIT dan Cabotage itulah salah satu materi yang kami promosikan besar-besaran di mancanegara dengan konsep mengail di kolam yang banyak ikannya, seperti Singapore, Hongkong, Macau, berbagai objek dan event pariwisata dunia yang mencatat banyak wisatawan asing.

Singapore misalnya, 1-11 Oktober 2015 lalu memperkenalkan Indonesia melalui pameran di Changi International Airport, yang lalu lalang jutaan orang, baik yang transit maupun yang punya tujuan ke Singapore,” jelas Arief Yahya.

Perpres No. 105 Tahun 2015 tentang Yacht Asing itu sudah diundangkan tanggal 30 September 2015, menggantikan Pepres No. 79 Tahun 2011 dan Perpres No. 180 Tahun 2014. Perpres No.105 Tahun 2015 ini antara lain menghapus ketentuan mengenai CAIT (Clearance Approval for Indonesia Territory).

Penghapusan CAIT ini diproyeksikan meningkatkan jumlah kunjungan perahu pesiar (yacht) ke Indonesia mencapai 5.000 yacht tahun 2019, dengan perolehan devisa sebesar USD 500 juta.

Pencabutan asas cabotage untuk Cruise (Kapal Pesiar) asing, adalah penumpang boleh naik turun di lima pelabuhan di Indonesia. Yakni Belawan, Medan, Tanjung Priok, Jakarta, Tanjung Perak, Surabaya, Benoa, Bali, Soekarno–Hatta, dan Makassar

Kebijakan Pencabutan asas cabotage cruise ini diproyeksikan meningkatkan jumlah kunjungan kapal pesiar (cruise) asing ke Indonesia mencapai 1.000 kapal pesiar pada tahun 2019 dengan perolehan  devisa sebesar USD 300 juta.

Lebih lanjut Arief juga membenarkan, satu tahun Singapore dikunjungi 15 juta wisatawan, padahal luasan Pulau Singapore itu hanya seperlima Pulau Dewata Bali. Bali sendiri hanya 4 juta per tahun.

“Karena itu, kalau Bali Nusa Dua dikembangkan lagi menjadi pusat financial services, pasti akan lebih banyak lagi orang ke Bali, bukan hanya wisata leisure, tetapi juga wisata berbasis bisnis keuangan. Nusa Dua sangat berpotensi untuk itu, menjadi pusat bisnis, seperti Singapore dan Hongkong, dengan daya dukung pariwisata yang sudah eksis,” kata Mantan Dirut PT Telkom yang kenyang dengan dunia marketing, digital IT, dan financing itu.

Banyak yang bertanya, kalau promosi digencarkan, apakah dampaknya langsung? Malaysia mendapatkan 27 juta wisatawan dan Thailand 25 juta, itu juga tidak setahun dua tahun. Bahkan puluhan tahun mempromosikan Truly Asia dan Amazing Thailand.

Gencar, besar-besaran, di semua channel, di berbagai negara sasaran, dan agresif dalam banyak momentum.

“Saya ibaratnya kita punya mangga arum manis di belakang rumah. Kalau tidak dipromosikan, apa ada orang yang mau beli? Apa ada yang tahu? Sedangkan tetangga, dipajang di depan rumah, ditulisi Truly Mangga, Amazing Mangga, Incredible Mangga, Sparkling Mangga, lalu dijajakan dengan agresif? Kalau kita mau merebut pasar, ya harus berani bersaing di kreatif promosi? Kalau tidak, ya kita bisa kehilangan momentum, kita merasa bagus, cantik, hebat, tapi tidak banyak orang tahu,”  ungkap Arief Yahya.

Bagaimana dengan destinasi kita? Kalau dipromosikan besar-besaran, lalu orang datang, dan melihat ternyata tidak seindah warna aslinya? Apa itu tidak menjadi pukulan balik dan promosi negatif buat pariwisata nasional? Kesiapan infrastruktur kita masih jauh dari dibilang “baik” dan “layak” untuk wisata?

“Karena itu Kemenpar membuat prioritas. Hanya kawasan yang betul-betul siap, betul-betul ready, punya daya tampung yang cukup, yang dipromosikan besar-besaran. Kami punya great Bali, great Jakarta, dan great Batam. Tiga titik itulah yang kami besarkan,” jelasnya.

Daerah lain, yang masuk Great Bali, secara otomatis juga akan dipromosikan dan secara langsung bisa menggunakan tiga great itu untuk berpromosi, karena sudah ada wisman yang ke sana.

Misalnya, Lombok, Labuan Bajo, Alor, dan sederetan dari NTB-NTT. Di sebelah barat, ada Banyuwangi, Jawa Timur, yang sudah mulai menggunakan Great Bali untuk mendongkrak popularitasnya di destinasi wisata.

Demikian pula di Great Batam, ada Bintan, ada Tanjung Balai Karimun, dan banyak pulau yang tersebar di Kepri. Mereka bisa mendapatkan “berkah” dari promosi Great Batam yang sudah mulai digeber sejak Juni 2015. Begitu pun Great Jakarta?

“Okupansi hotel di Bali itu rata-rata per tahun baru 50% dari kapasitas yang tersedia. Artinya, jika digenjot dengan 20% tambahan lagi, itu baru 60% dari kapasitas, masih ada 40% lagi yang belum terisi. Bahkan jika Bali bisa naik 50% saja, baru mencapai 75% daya tampung Bali,” jelas Arief Yahya.

Promosi itu, lanjut Arief, adalah investasi. Bukan biaya yang dicatatkan dalam operational cost di sheet laba rugi, tetapi angka promosi itu dibukukan dalam neraca. Masuk dalam investasi.

Mengambil benefitnya ada leg, atau jeda. Promosi di awal tahun, hasilnya baru pertengahan dan akhir tahun. Promosi di tahun ini, bisa jadi dampaknya baru terasa pertengahan tahun depan.

“Karena produk pariwisata adalah produk services, produk jasa, bukan barang yang langsung bisa dibeli dan dibawa,” kata dia.

Soal promosi, aku Arief Yahya, Kemenpar sudah mendapatkan reputasi yang cukup oke.

“Peringkat brand Wonderful Indonesia melesat hampir 100 tingkat, menjadi 47 dari 141 negara. Lombok juga kita geber menjadi World Halal Travel Award 2015. Indonesia masuk 5 kategori, mudah-mudahan saja bisa tembus di bulan Oktober 2015 ini.”

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas