Betapa Mbok Suti yang Sederhana Ini Tak Sadar Kalau Pecel Nasi Merahnya Sungguh Sehat
Betapa Mbok Suti yang sederhana ini tidak sadar kalau produk jualan kelilingnya, pecel dengan nasi merah, itu sungguh sehat.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Minggu siang (11/10) Solo panas terik. Konon kota ini sudah semenjak Juni tak pernah turun hujan. Pantas, saya membatin dalam hati.
Siang tadi saya ikut keliling kota Solo bareng teman-teman, berburu tempat makan yang enak dan ngangeni, serta tentu saja berburu oleh-oleh.
Selagi menyambangi toko batik Ria di Jalam RM.Said, iseng saya ngabur dari rombongan keluar toko.
Penasaran dengan lokasi sekitar toko batik ini. Masak sih tempat hits begini gak ada kulinernya yang bisa dicoba.
Karena biasanya jika travelling ke sebuah kota dan menemukan tempat belanja oleh-oleh khas sebuah daerah, maka tak jauh dari situ bakal ada penjual penganan yang juga khas.
Tak sengaja mata saya menatap seorang mbok-mbok yang lesehan duduk di ubin depan atau emperan toko Ria. Si-mbok saya taksir usianya pasti lebih dari setengah abad.
Ia berjualan layaknya pedagang pasar yang biasa saya temui di pasar tradisional di daerah Jawa. Membawa bakul, baskom dan sejumlah dagangan. Ternyata ia berjualan pecel.
Mbok Suti sedang melayani pembeli.
Saya mondar-mandir mengamati isi jualan si-mbok. Hmm... kayaknya menarik nih. Sejak tadi saya perhatikan pembelinya silih berganti mengerumuni lapak si-mbok. Jadi penasaran, seenak apa sih kok banyak yang makan di situ atau membeli untuk dibawa pulang.
Langsung saya pesan satu porsi nasi pecel lengkap, komplit. Saya perhatikan sayuran yang digunakan berbeda dari pecel yang biasa saya makan.
Di situ memang ada daun pepaya, daun bayam dan toge. Tapi di baskom jualannya juga ada kembang turi, krokot, kemangi dan lamtoro alias petai cina. Hmm... beda nih.
Nasi yang dia gunakan juga berbeda dari nasi pecel lainnya, si-mbok yang kemudian saya tanya namanya sebagai mbok Suti itu menggunakan nasi beras merah. Wow.
Satu pincuk nasi merah pecel kemudian tersaji menggoda selera saya. Padahal sebenarnya saya tak terlalu lapar banget. Karena sebelumnya sarapan agak kesiangan.
Jadi perut tidak benar-benar butuh diisi. Tapi, sudahah lupakan itu semua. Saya akan coba makan dengan menikmatinya secara perlahan. Bahasa kerennya sih slow eating.
Kalau di kantor mesti makan siang dengan tergesa lantaran sudah ditunggu rapat atau keperluan lain, kali ini lantaran sedang lan-jalan bolehlah manja sedikit dengan makan "pelan-pelan saja."
Sambal Hitam Yang Menggoda
Bisa jadi kali ini saya lapar mata, cuma tergoda ingin makan karena 'mata saya' menatap sebuah sajian kuliner yang menggemaskan. Sementara perut belum tentu 'ingin' diisi.
Jika sambal kacang rasanya pekat dengan butiran kasar kacang tumbuk yang sensasi rasanya berbeda jika ditumbuk halus, maka yang ini berbeda.
Sambal wijen hitam lebih halus, seratnya tak sekasar sambal kacang. Rasanya lebih juicy. Pedas cabenya jadi lebih menonjol.
Tak cukup sekali sambal wijen hitam itu ada di pincuk saya, saya berkali-kali minta nambah. Mbok Suti dengan senang hati memberikan sambalnya.
Dari senyum di wajah tuanya saya menangkap sebuah keriaan. Ia tampak bahagia. Sepertinya hasil usaha kerasnya memasak bersama orang rumahnya diapresiasi saya begitu rupa.
Berkali-kali pula si-mbok menanyakan apakah saya senang dengan sambal hitamnya itu. "Enak, tho pak sambalnya si-mbok?
Nambah sambelnya ya, atau mau bawa ke Jakarta yang masih bungkusan plastik ini?", begitu mbok Suti menawarkan sambal pecelnya.
Saya tolak dengan halus tawaran untuk membeli sambalnya karena saya masih beberapa hari travelling di Solo. Saya hanya khawatir tak bisa menyimpan dengan baik dan membuat rasanya jadi tak enak nantinya sesampainya di Jakarta.
Kesadaran Pada Makanan Sehat
Mbok Suti mengaku sudah berjualan pecel dengan nasi merah dan sambal wijen hitam ini selama 15 tahunan. Selama itu ia hanya berjualan setengah hari saja, karena biasanya jualannya sudah laris manis selepas jam makan siang.
Mbok Suti ini tipikal perempuan Jawa yang senang bekerja keras.
Di usianya yang berkisar setengah abad lebih itu ia mengaku belum mau berhenti berjualan Nasi Pecel. Meski pendapatannya tak seberapa, ia senang bisa menyenangkan orang lain dengan penganan sederhana yang ia buat sendiri itu.
Membuat pelanggan senang dan tersenyum setelah memakan nasi pecelnya baginya adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Meski berjualan di emperan toko batik yang cukup tersohor di kota Solo, mbok Suti tak serta merta melakukan aji mumpung dengan mematok harga tinggi nasi pecelnya.
Nasi pecel komplit dengan tambahan 2 potong tahu goreng ia banderol cuma 8 ribu rupiah saja.
Agak kaget juga saat membayar dengan nominal yang 'merakyat' itu. Saya sengaja melebihkan sedikit rupiah bukan karena pengen pamer tapi lebih pada menghargai ketulusannya saat melayani, dan menjadikan semua pelanggannya sebagai teman.
Ia melayani semua pelanggannya sama, dengan keramahan dan sikap yang sama. Siapapun dia, walau ia seorang sopir yang sedang menungu majikannya berbelanja batik atau juragan dari luar kota yang kelaparan ia sapa dan layani dengan keramahan yang natural.
Bukan keramahan yang artifisial yang biasa saya temukan di resto di mal atau penjaga toko di ITC Mangga Dua yang selalu menyapa semua pelanggannya sebagai "kakak" itu.
Terlepas dari sajiannya yang yummy, mbok Suti secara tak sadar sudah mengajarkan orang kota yang menjadi pelanggannya untuk hidup sehat.
Tengok saja Nasi merah pecel yang dijajakannya. Bagi warga kota nasi merah adalah simbol makanan sehat yang jadi tren bagi pecinta diet.
Terus sayur-mayur yang menjadi sajian utama dalam nasi pecelnya biasanya juga disenangi mereka yang ingin mendapatkan tubuh ideal dengan memakan protein nabati.
Mbok Suti memang bukan pakar gizi. Tapi kesederhanaan jualannya memberikan sajian bergizi yang kadang dilupakan pemburu kuliner tentang betapa pentingnya makan sayur. (Saifuddin Sayuti/ Kompasiana.com)
Sumber: Kompasiana.com