Menpar: Pariwisata Adalah Komoditas yang Menjual Services, Karena itu Harus Iipromosikan
Menpar Arief Yahya memiliki visi yang menyatakan bahwa promosi adalah investasi
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menpar Arief Yahya memiliki visi yang menyatakan bahwa promosi adalah investasi. Pariwisata adalah komoditas yang menjual services, karena itu harus dipromosikan.
Lagi-lagi Arief Yahya mencontohkan produk sepatu Nike. Kalau ada display dua sepatu, sama ukuran, sama warna, sama model, sama pabrik, sama bahan, sama desain, sama operator pembuatnya, tidak ada yang beda.
Yang satu ditempel logo Nike, yang satu lagi dibiarkan polos tanpa embel-embel logo. Yang bermerek dibandrol dengan harga Rp 1,5 juta. Apakah yang polosan itu laku dijual dengan harga Rp 1 juta saja? “Silakan dijawab sendiri!” tanya Menpar Arief Yahya.
Contoh lain, Arief Yahya menyebut dua rumah, yang di belakangnya sama-sama ditanam pohon mangga. Saat berbuah, rumah yang satu dibiarkan mangganya tetap bergelantungan dan matang di pohon.
Sedang mangga yang satu dipetik, ditata rapi di depan rumah, biar dilihat orang yang lewat, ditempel harga, diberi stiker Truly Mangga.
”Bahkan, sang pemilik mangga itu ikut menawarkan langsung kepada orang-orang yang lewat, memasang spanduk, dan meminta tolong kepada tetangga, kawan, handai tolan, untuk membantu memasarkan mangga-nya. Pertanyaannya, mana yang lebih laku? Mana yang lebih banyak dibeli orang? Mana yang akan menghasilkan uang?” lagi-lagi tanya Menpar Arief Yahya. Itu hanyalah analogi sederhana, untuk mendeskripsikan pentingnya promosi.
Bahkan, lanjut Arief Yahya, komoditas yang sudah dikenal dan terkenal pun tidak boleh berhenti berpromosi. Mnatan Dirut PT Telkom yang berpengalaman membranding produk telco itu ingin berkisah flash back. Dulu, ada sabun merek Asoka, Lifebuoy, dan Lux.
Yang masih terus berpromosi, terbukti masih eksis dan makin menemukan positioning produknya di pasar. Yang tidak berpromosi, hilang dari peredaran, tidak dikenal, bahkan generasi muda malah tidak tahu sama sekali akan mereknya.
Sama dengan produk pasta gigi, yang bersaing di pasar, antara Ritadent dan Pepsodent. Sama-sama odol, sama-sama membersihkan gigi, sama-sama mengharumkan mulut dengan rasa mint-nya.
Sama-sama brand colornya, putih, biru dan sedikit aksen merah. Yang dipromosikan secara konsisten, melalui berbagai channel, yang berkembang, melebar market share-nya, dan eksis sampai sekarang. Bagaimana yang tidak berpromosi?
Begitu pun dengan produk sigaret. Apakah merek rokok-rokok yang kuat dan sudah sukses menguasai market itu mengurangi biaya promosi? Atau malah men-stop budget promosi?
Jawabannya, 100 persen, pasti tidak. Mereka juga meningkatkan kualitas dan kuantitas berpromosi.
Arief Yahya ingin memberi contoh akan pentingnya promosi, termasuk di sektor pariwisata. Sehebat, secantik, seindah, se-eksotis apapun destinasi yang dimiliki, tanpa dipromosikan, tanpa dikemas, tanpa disebar luaskan informasinya, tidak akan ada yang tahu.
“Inilah kelemahan kita selama ini, yang sudah berkali-kali dikritik oleh Bapak Presiden Jokowi. Sampai-sampai di Sail Tomini 2015 Sulteng dan pencanangan pembangunan Kawasan Pariwisata Terpadu Mandeh Sumber, berkali-kali menekankan: Promosi! Promosi! Promosi!” tutur dia.
Mungkin akan ada pertanyaan lagi: Bagaimana kalau destinasinya belum siap? Buat apa promosi?
“Rata-rata tingkat hunian hotel kita itu hanya 50%, dari kapasitas yang tersedia. Kalau target per tahun naik 20% saja, maka hanya akan terisi 60% dari total kamar? Asumsikan yang paling ekstrem deh, naik 50% setelah promosi, itu baru 75% yang terisi, masih cukup space-nya,” tandas Arief Yahya.
Karena itu, konsep “membungkus” Singapore dengan branding Wonderful Indonesia itu akan terus dipantau ketat, seberapa besar impact pasarnya? Seberapa banyak wisatawan mancanegara yang bisa dijaring dari “kolam ikan” Singapore? Seberapa efektif model promosinya?
“Promosi itu tidak dilepas begitu saja. Tetapi terus diamati pergerakan angkanya, dan sejauh ini, sampai dengan bulan September 2015, angka-angkanya masih progress, masih naik, di tengah suasana ekonomi global yang lesu,” kata dia.
Ada juga yang menyoal brand “Wonderful Indonesia” dan meminta untuk ganti nama? Misalnya “Wow Indonesia” yang lebih gaul, lebih pendek, lebih keren, lebih bombastis? Atau disayembarakan saja, lalu dipanggil nominatornya, disuruh presentasi filosofi dan makna di balik brand logonya?
“Ide itu sudah saya lalui sejak akhir 2014 lalu, sudah selesai! Selain itu, Wow itu pernah dipakai Filipina, dan sekarang ini masih dipakai Zimbabwe. Tidak mungkin national branding kok sama dengan negara lain?” jawab pria berdarah Banyuwangi-Banten itu.
Maksudnya? Sejak akhir 2014, pihaknya sudah mewacanakan rebranding, membangun brand baru, mengganti yang sudah lama. Bahkan sudah menggunakan Ogylvy, konsultan international yang sudah melakukan penjajakan plus minus menggunakan logo baru.
“Logo Wonderful Indonesia tidak jelek kok. Hanya tidak dipromosikan dengan optimal, selama ini. Jadi, jangan buru-buru di-jugde logonya yang tidak ngangkat, tapi cek dulu selama ini sudah mempromosikan seperti apa?” tuturnya.
Bandingkan saja dengan logo-logo national tourism branding yang lain? Seperti Malaysia Truly Asia, Amazing Thailand, Incredible India, Discovery USA, Your Singapore, Australia dan lainnya. Wonderful Indonesia tidak terlalu buruk.
“Hanya saja, kalau dalam marketing, Wonderful Indonesia itu masih mempromosikan produk, yakni Indonesia yang indah. Tetapi seperti “Your” Singapore, itu touch-nya ada di costumer, bukan di produk,” jelas Arief yang sangat menguasai ilmu marketing dan pernah dinobatkan sebagai Marketeer of The Year 2013 oleh Mark Plus itu.
Apakah pola promosi “Membungkus” Singapore itu akan dilakukan di mana-mana? “Tentu, promosi itu harus dijalankan, dipikirkan, dimaksimalkan agar brand itu memiliki brand value. Terus terang, dari 141 negara yang diranking World Economic Forum (WEF), untuk melihat 14 pilar di Travel and Tourism Competitiveness Index, selama ini Wonderful Indonesia tidak masuk dalam ranking. Tahun 2015 ini, begitu kita gencar berpromosi, kita masuk peringkat 47 dunia, bahkan mulai menggeser Amazing Thailand dan Malaysia Truly Asia,” papar pengarang buku Creativity to Commerce, Great Spirit and Grand Strategy dan Paradox Marketing itu.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.