Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Buntil dan Ayam Panggang Versi Masakan Ndeso yang Selalu Bikin Kangen Mudik Kampung

Buntil dan ayam panggang dimasak ndeso seperti ini paling bikin kangen untuk pulang kampung.

Editor: Agung Budi Santoso
zoom-in Buntil dan Ayam Panggang Versi Masakan Ndeso yang Selalu Bikin Kangen Mudik Kampung
Foto-foto: Kompas/ Dwi AS Setianingsih
Buntil dan ayam panggang dimasak versi ndeso khas Klaten. 

TRIBUNNEWS.COM - Masakan tradisional berbahan sederhana yang dimasak ala rumahan tak kalah memikat lidah. Masakan ”ndeso” hingga kini tetap dicari karena kenangan dan kelezatannya.

Peserta tur Warisan Budaya Bengawan Solo menikmati menu khas Klaten seperti ayam panggang dan buntil saat berkunjung ke Pedan, Klaten, Jawa Tengah.

Peserta tur Warisan Budaya Bengawan Solo menikmati menu khas Klaten seperti ayam panggang dan buntil saat berkunjung ke Pedan, Klaten, Jawa Tengah.

Di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, yang dikenal sebagai produsen mi ayam dan bakso, ada dua kuliner tradisional khas yang sampai kini masih terus lestari, yaitu nasi tiwul dan jangan ndeso alias jangan lombok.


Nasi tiwul, jangan (sayur) ndeso dan tongseng sapi.

Kedua kuliner khas Wonogiri itu sangat populer di daerah asalnya dan masih dinikmati masyarakat setempat sebagai menu sehari-hari. Bahannya sederhana dan mudah didapat, sementara cita rasanya tak kalah nikmat dari masakan-masakan khas Nusantara lainnya.

Nasi tiwul yang menjadi salah satu makanan utama di Wonogiri lahir di masa penjajahan Jepang. Saat itu nasi merupakan barang mewah.

Untuk menyiasatinya, masyarakat kemudian mengganti nasi dengan singkong yang banyak ditanam di Wonogiri. Muncullah nasi tiwul.

Berita Rekomendasi

Setelah masa penjajahan usai, nasi tiwul masih menjadi makanan pokok di Wonogiri. Namun, saat ini, nasi tiwul tidak lagi didominasi oleh singkong.

Masyarakat mengolahnya dengan campuran beras sehingga ketika sudah masak, nasi tiwul memiliki dua warna, yaitu putih dan coklat muda. Bulir-bulir tiwul berukuran lebih kecil daripada bulir-bulir nasi.

Nasi tiwul memiliki cita rasa yang berbeda dengan nasi putih biasa. Gula merah yang menjadi bahan dalam pembuatan tiwul membuat nasi tiwul lebih manis. Sementara teksturnya lebih kenyal karena bahan baku singkong yang digunakan.

Sebagai paduan nasi tiwul adalah jangan ndeso yang juga disebut jangan lombok. Dalam bahasa Jawa, jangan artinya sayur.

Sementara lombok artinya cabai. Umumnya, jangan lombok ini menggunakan cabai keriting berwarna hijau.


Meracik bubur ayam yang sedap.
Jangan lombok berupa sayur bersantan yang berbahan dasar potongan-potongan cabai hijau dipadukan dengan irisan cabai rawit, tempe, dan petai sebagai pelengkap. Karena bahan utamanya berupa cabai hijau dan cabai rawit, jangan lombok ini pedas di lidah.

Jumlah cabai yang digunakan kadang tidak tanggung-tanggung. Hampir sebanding dengan tempe yang juga menjadi bahan utama jangan ndeso. Meski demikian, rasa pedas itu justru membuat jangan lombok makin nikmat.

Menurut Nanik, warga Wonogiri yang bekerja di Kantor Bupati Wonogiri, jangan lombok sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat Wonogiri sejak lama.

”Jangan lombok bisa dihidangkan setiap saat. Sekarang, sayur ini menjadi salah satu menu favorit dalam berbagai acara seperti pernikahan dan khitanan. Beberapa warung makan Wonogiri bahkan menjadikan sayur ndeso sebagai menu wajib,” kata Nanik.

Nasi tiwul dan jangan ndeso semakin lengkap disajikan dengan tongseng sapi khas Wonogiri yang bercita rasa manis-gurih-pedas, dengan daging yang dimasak hingga empuk.

Ayam panggang dan buntil

Di Klaten pun menu tradisional masih terus dicari orang. Salah satu yang cukup populer adalah ayam panggang. Kisah tentang ayam panggang Klaten yang terkenal itu ada di buku karya Umar Kayam, Mangan Ora Mangan Kumpul (1995).

Di buku tersebut, dikisahkan Pak Joyoboyo yang biasa menjajakan ayam panggang melafalkan ayam panggang dengan penggeng eyem. Sebelum diulurkan kepada pembeli, penggeng eyem dibungkus dengan daun pisang. Bau gurih bercampur manisnya penggeng eyem selalu menerbitkan air liur.

Zaman dahulu, ayam panggang Klaten dijajakan berkeliling kota oleh penjualnya dengan menggunakan tenongan. Namun, saat ini, penjual tenongan sudah tidak ada lagi. Sebagai gantinya, ayam panggang disajikan sebagai menu utama di sejumlah rumah makan di Klaten.

Ayam panggang khas Klaten ini berwarna kecoklatan. Biasanya dimasak utuh dari bahan baku berupa ayam kampung. Kombinasi penggunaan santan dan gula merah menjadi kunci bagi cita rasa ayam panggang yang lezat.

Paduan rempah-rempah seperti ketumbar, merica, jintan, kemiri, kencur, jahe, kunyit, dan lengkuas menjadikan ayam panggang khas Klaten legit dan gurih. Disantap dengan nasi putih yang panas mengepul, serta sambal merah dan lalapan segar, hmmm... sangat nikmat.

Selain ayam panggang, kuliner khas Klaten yang kini sudah sulit ditemui adalah buntil daun singkong. Bahan baku utama masakan tradisional ini adalah daun singkong, yang dimasak dengan kelapa parut dan berbagai jenis rempah.

Rasa gurih berasal dari kelapa parut dan bumbu rempah yang melimpah. Zaman dulu, buntil biasa menjadi sajian sehari-hari di rumah warga.

Daun singkong yang menjadi bahan baku utama dimasak dengan cara sederhana, yaitu dikukus.

Setelah itu, daun singkong yang sudah diikat menggunakan benang kasur, dimasak dalam kuah bumbu hingga matang dan seluruh bumbu meresap sempurna.

Paduan daun singkong yang lembut dan kuah kental yang gurih-pedas menjadikan buntil istimewa di lidah.

Salah seorang pencinta kuliner Nusantara, Dewi Anthy, menuturkan, buntil yang dia temui di Klaten memiliki cita rasa yang sangat enak.

”Dari sekian banyak makanan yang saya coba selama perjalanan Solo-Wonogiri-Pacitan-Klaten, inilah masakan yang paling enak. Daun singkongnya lembut, bumbunya pun merasuk. Beruntung sekali saya bisa menikmatinya saat berkunjung ke Klaten,” tutur Anthy. Masakan boleh ndeso, tapi soal rasa, tetap nomor satu.  (Dwi AS Setianingsih)

Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas