Batu-batu Akik Peninggalan Kerajaan Samudera Pasai Ini Ternyata Berasal dari Banyak Negara
Soal batu untuk aksesoris, cincin dan lain sebagainya sebenarnya sudah menjadi tren sejak zaman dulu
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, LHOKSEUMAWE - Sepertinya "zaman batu" belum berakhir di Aceh.
Kalimat itu cocok ditabalkan untuk batu yang berasal dari Kerajaan Samudera Pasai (Pase), Aceh Utara.
Di lokasi kerajaan Islam pertama di nusantara itu banyak ditemukan berbagai macam jenis batu dari seluruh negeri.
Ihwal batu itu diungkapkan Sayed Ahmad Sabiq, pemilik Aceh Gamestone di Desa Mon Geudong, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe, Aceh kapada KompasTravel, Minggu (27/12/2015).
Berbagai batu seperti akik dan batu mulia tersimpan di perut bumi Kerajaan Pase.
“Batu itu akik dan batu mulia. Misalnya di bekas kerajaan di Kecamatan Samudera dan Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara saya temukan batu dari China, Rusia, Persia, bahkan ada batu jenis Turquoise atau Pirus dari China,” sebut Sayed.
Menurutnya, batu tersebut didatangkan oleh raja-raja Pase pada abad ke 12 masehi.
Peneliti sejarah Kerajaan Samudera Pase, Taqiyuddin Muhammad membenarkan bahwa kawasan kerajaan Pase tempo abad ke-12 membentang dari Kecamatan Samudera hingga Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara.
“Batu-batu itu memang khusus didatangkan. Jadi, soal batu untuk aksesoris, cincin dan lain sebagainya sebenarnya sudah menjadi tren sejak zaman dulu,” ungkap Sayed.
Batu Pase jenis Blue Sapire dibadrol dengan harga Rp 250 juta. (KOMPAS.COM/MASRIADI)
Dia merupakan pedagang khusus batu Pase. Batu lainnya jenis giok dan sebagainya hanya dijual sekadarnya saja.
Soal peminat, sambung Sayed, batu Pase umumnya disukai oleh pembeli dari Brunei Darussalam, Malaysia, Turki, dan negara Islam lainnya.
“Tentang batu, Pase (Aceh Utara dan Lhokseumawe) ini beruntung. Seluruh jenis batu dari belahan dunia mana pun ada di sini. Biasanya, satu negara hanya memiliki empat corak batu saja, Pase memiliki seluruhnya,” terang Sayed.
Pria berambut gondrong ini menekuni usaha batu jauh sebelum demam batu melanda nusantara.
Puluhan tahun lalu, dia telah berburu batu ke pelosok Aceh.
“Soal harga, batu Pase bisa kita jual paling murah itu Rp 200.000. Saat ini saya punya Blue Sapphire dengan 98,89 karat dan sertifikat dari Grilab Jakarta. Bahannya saya jual 250 juta rupiah. Kalau sudah jadi cincin, harganya bisa jauh lebih mahal,” ujarnya.
Apakah minat pembeli terhadap batu Pase menurun seiring dengan memudarnya tren batu di tanah air?
Sayed tersenyum tipis. Dia buru-buru menjawab bahwa tidak pernah terjadi penurunan minat pembeli untuk batu Pase.
“Pembeli terus berdatangan dari luar negeri. Yang turun itu kan giok, itu pun karena masyarakat kita terlalu jor-joran melepaskan batu-batunya. Sehingga barang jadi banyak dan harga anjlok,” terangnya.
Sayed Ahmad Sabiq, pemilik Aceh Gamestone, sedang menyusun batu Pase miliknya di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe, Aceh, Minggu (27/12/2015). (KOMPAS.COM/MASRIADI)
Dia menilai, strategi bisnis dari penggiat batu Aceh kurang mumpuni.
Kondisi itu membuat harga batu semakin murah. Namun, tidak untuk batu Pase.
“Sampai sekarang pesona batu Pase masih bertahan. Pesonanya sampai ke belahan dunia mana pun. Khususnya negara Muslim,” ujarnya.
Kini, Aceh Utara dan Lhokseumawe sebagai bekas kawasan Kerajaan Samudera Pase tidak hanya dikenal karena kebesaran nama kerajaan itu.
Namun, juga dikenal karena kilau batu aneka warna yang kian mempesona. Membawa harum nama kawasan itu ke mancanegara.