Seni Menimbang-nimbang Makanan Halal Saat Berwisata Kuliner di Pulau Dewata
Wisata halal memang melindungi muslim dari yang tidak halal. Termasuk dalam hal kuliner ayam betutu. Bahannya halal, apakah proses memasaknya halal?
Editor: Agung Budi Santoso
Oleh: Iswandi Syahputra, Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
TRIBUNNEWS.COM - Seorang teman lama saya saat di pesantren dulu saat ini sibuk mempromosikan pariwisata halal. Berkerut juga kening saya untuk memahaminya.
Sebab, halal ini kategori fiqh, bukan kategori syar'i apalagi sosiologi. Pariwisata halal tentu berbeda dengan pariwisata syar'i.
Misalnya, satu bus saat wisata dengan orang yang bukan muhrim, halal atau haram? Perbedaan pendapat tersebut bisa membawa kita jauh hingga ke abad 7 dan 8 masehi saat Imam empat mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali hidup dan berkarya.
Walau saya lulusan S.1 Perbandingan Mazhab, Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saya tidak ingin berdebat soal mazhab fiqh ini.
Iswandi Syahputra saat traveling ke Venezia, Italia.
Mau senang-senang berwisata koq memikirkan mazhab fiqh yang berat. Hehehe....
Sebagai salah seorang penikmat travel dan kuliner saya justru tertarik dengan manfaat wisata halal, walau saya belum tentu juga setuju sepenuhnya.
Misalnya manfaat dalam hal menentukan kuliner yang halal.
Tahun 2013 saya menghabiskan akhir tahun saya bersama keluarga di Bali.
Saat itu, dalam perjalanan ke Bedugul, kami singgah makan siang di restoran Bali. Menu yang kami pilih ayam betutu dan pelecing kangkung khas Bali.
Wuihhhh... nikmat sekali rasanya. Saya khilaf, tidak berpikir soal halal atau haramnya. Saat itu saya hanya berpikir, ayam makanan halal.
Lebaran tahun 2014 kembali saya berlibur ke Bali, kali ini dengan rombongan keluarga yang lebih besar.
Saat menuju Bedugul, kembali saya ajak rombongan santap siang dengan menu ayam betutu.
Seorang anggota rombongan, memilih tidak makan. Belakangan diketahui rupanya dia ragu dengan kehalalan ayam betutu.
Hmmm... Saya segera paham dan mulai mikir. Ayamnya sih halal, tapi bagaimana dengan proses penyembelihan dan memasaknya?
Bagaimana jika kuali atau panci yang digunakan untuk memasak dipakai juga untuk memasak yang haram?
Dalam konteks inilah saya pikir wisata halal ada manfaatnya untuk melindungi umat Islam yang ingin menjalankan ibadah wisata dengan khusyu' dan nikmat tanpa terganggu oleh hal yang syubhat (meragukan).
Jika kata-kata halal berpotensi merugikan industri pariwisata, pemerintah perlu mencari jalan keluar atau titik temu permasalahannya.
Misalnya, cukup dengan menyediakan peta wisata kuliner halal yang disebar pada setiap hotel, hostel atau motel.
Pengusaha kuliner juga perlu disadarkan untuk bersedia toleran dengan umat Islam dengan memberitahu masakannya halal atau tidak.
Selama ini, hal tersebut menjadi sensitif karena tidak ada transparansi dan transfer informasi soal kuliner halal haram ini.
Bahannya Halal, Cara Memasaknya yang Bikin Haram
Soal makanan halal ini saya juga punya cerita menarik saat melakukan perjalanan di luar negeri. Sekuat-kuatnya saya tidak makan nasi, paling kuat bertahan cuma 3 hari.
Di sejumlah negara seperti Spanyol, nasi tidak begitu sulit ditemukan. Sebab salah satu makanan khas di Spanyol berbahan pokok nasi, namanya Paella.
Ya, mirip nasi rameslah di Indonesia. Nasi campur lauk, biasanya seafood seperti udang atau kerang.
Sejumlah kota di Spanyol seperti Sevilla, Cordoba, Malaga, Granada, Valencia dan Granada yang saya kunjungi, hampir tiap hari saya makan Paella.
Hingga suatu saat di Barcelona saya memesan Paella di restoran muslim.
Dari pramusaji restoran muslim ini saya dapat informasi proses pemasakan Paella yang halal tanpa menggunakan air keras (khamar).
Sontak saya teringat ayam betutu Bali, boleh jadi zatnya halal tapi cara memasaknya yang membuatnya haram. (Sumber: Islampopuler.com)
Baca tulisan sambungannya: Susah Mencari Makanan Halal di Eropa, Tapi Amat Mudah Ketika di Amerika
Baca tulisan sambungannya: Disuguhi Potongan Daging Mirip Warna Wortel Ternyata Babi