Kuliner Khas Aceh: Ikan Kayu, Makanan Warisan Perang yang Kini Jadi Oleh-oleh
Ikan yang dalam bahasa lokal disebut keumamah itu mempunyai riwayat tersendiri yang sama uniknya dengan namanya.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Dari sekian kuliner khas Aceh, tersebutlah nama ikan kayu.
Ikan yang dalam bahasa lokal disebut keumamah itu mempunyai riwayat tersendiri yang sama uniknya dengan namanya.
Ikan kayu sebagai oleh-oleh. (Serambi/Nurul Hayati)
Konon ikan kayu lahir karena kondisi Aceh yang kerap dilanda perang.
Perang berkepanjangan yang berkecamuk membuat warganya siaga dan menyesuaikan diri untuk bertahan hidup.
Termasuk dalam hal ketersediaan pangan.
Ikan kayu mempunyai tekstur keras.
Terbuat dari ikan tongkol yang cara pengolahannya membuatnya tahan lama.
Ikan kayu telah melalui serangkaian proses sebelum sampai ke tangan konsumen.
Butuh waktu 3-4 hari untuk menghasilkan ikan kayu berkualitas baik.
Bahan baku ikan kayu. (Serambi/Nurul Hayati)
Mulai dari disiangi dan ditaburi garam untuk kemudian direbus, dibuang tulang belulangnya, dijemur, lalu setengah kering dirajang, dan dijemur kembali.
Penggunaan garam dan penjemuran lah yang membuat ikan kayu awet hingga 2 tahunan.
Tentu saja tanpa mengurangi citarasa asli si ikan tongkol yang terkenal gurih.
Sementara kepraktisannya didapat dari struktur ikan yang sudah dirajang halus dan siap olah.
Era perang telah usai, namun kepraktisannya membuat si ikan kayu sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut mobilitas tinggi.
Itulah yang ditawarkan Fauziah Basyariah (47) tahun.
Warga Desa Lampulo Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh.
Janda korban tsunami ini meretas usahanya sejak 2006 silam.
Lampulo dikenal sebagai kampung nelayan dengan kekayaan hasil laut yang melimpah.
Potensi inilah yang dilirik Fauziah.
Di bawah binaan pemerintah kota setempat, dirinya mendirikan Gallery Balee Inong yang menjual ikan kayu dan kerajinan khas Aceh lainnya.
Namun Fauziah berinovasi dengan ikan kayu yang dulunya dijual batangan kini dikemas sedemikian rupa dan cocok untuk ditenteng sebagai oleh-oleh.
Ikan kayu produksi Fauziah sudah dilengkapi dengan bumbu berikut cara memasak.
Serta melahirkan varian baru yaitu ikan kayu crispy siap goreng.
Sedangkan ikan kayu kalengan masih dalam tahap uji coba lab.
Ikan kayu kemasan itu dilepas seberat 100 gram dilepas seharga Rp 20 ribu.
“Kendalanya karena Aceh tidak punya mesin pengalengan, itulah yang kami harapkan dari pemerintah karena harga mesinnya mahal sampai Rp 778 juta untuk ukuran UKM. Jadi sementara ini kami membawanya ke Gunung Kidul, Yogyakarta,” terang Fauziah.
Ikan kayu cap kapal tsunami mulai 2012 lalu juga dijadikan oleh-oleh dari Pemerintah Aceh jamaah yang bertolak ke tanah suci.
Untuk mendapatkannya datang saja ke Gallery Balee Inong.
Berlokasi tepat di depan situs tsunami yaitu tempat wisata boat di atas rumah.
Situs tersebut merupakan saksi dahsyatnya tsunami yang telah meluluh lantakkan Aceh pengujung 2004 silam.
Sebaliknya bencana tersebut telah mendatangkan rezeki tersendiri bagi Fauziah yanng kini mempunyai 10 orang karyawan tetap.
Ikan kayu Fauziah awalnya merupakan warisan perang yang kemudian bermetamorfosis menjadi oleh-oleh kuliner khas.
Wujud kebangkitan masyarakat Aceh berbentuk makanan dari perang berkepanjangan hingga bencana maha dahsyat.