Kemeriahan Perayaan Imlek di Banjarmasin, Kembang Barenteng Khas Banjar Hiasi Kelenteng
Kelenteng itu itu tak hanya dipenuhi warga keturunan Tionghoa yang bersembahyang, namun juga warga lainnya yang berbeda agama dan bukan orang Cina.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Banjarmasin Post, Yayu Fathilal
TRIBUNNEWS.COM, BANJARMASIN - Warga keturunan Tionghoa di Indonesia merayakan Tahun Baru Imlek 2567, tak terkecuali di Banjarmasin.
Perayaannya tampak di kelenteng Sutji Nurani di Jalan Kapten Pierre Tendean, Banjarmasin.
Sejak Minggu (7/2/2016) malam hingga Senin (8/2/2016), kelenteng ini tampak dipenuhi mereka yang merayakan Imlek.
Mereka sembahyang menyembah para dewa dalam tradisi mereka yang dipajang di dalam tempat ibadah tersebut.
Menariknya, di sekitar tempat itu tak hanya dipenuhi warga keturunan Tionghoa yang bersembahyang, namun juga warga lainnya yang berbeda agama dan bukan orang Cina.
Mereka tampak antusias menyaksikan ritual ibadah tersebut.
Berdoa. (Banjarmasin Post/Yayu)
Banyak anak kecil hingga dewasa memenuhi halaman bahkan ruangan dalam kelenteng hanya untuk menyaksikan pemandangan setahun sekali itu.
Sebagian dari pengguna jalan juga ada yang sengaja berhenti kemudian melongok-longok dari balik pagar kelenteng untuk sekadar mengintip mereka yang beribadah di dalam.
Mereka tampak penasaran.
Ada juga yang memotret aktivitas ibadah tersebut dengan kamera ponsel mereka.
Warga keturunan Tionghoa di Banjarmasin yang beribadah pun tak mempermasalahkan hal itu, selama tidak mengganggu kekhusukan ibadah mereka.
Kendati perayaan ibadah Imlek ini terkesan relijius dan untuk kalangan kepercayaan tertentu saja.
Namun keunikan tradisinya mampu menarik minat mereka yang bukan keturunan Cina sehingga ini bisa dikatakan menjadi daya tarik wisata tersendiri.
Bakar uang kertas. (Banjarmasin Post/Yayu)
Seorang perempuan berjilbab merah datang bersama keluarganya tanpa canggung tampak memasuki ruangan dalam kelenteng sembari menyaksikan para warga keturunan Tionghoa yang beribadah.
“Ingin tahu saja seperti apa sih tradisi perayaan Imleknya orang Cina. Penasaran ingin melihat langsung ritual ibadah mereka,” ucap perempuan yang bernama Tami ini.
Tak kalah penasarannya dengan Ida.
Perempuan yang juga berhijab ini kerap ke kelenteng tiap kali Imlek.
“Sering kemari kalau Imlek. Karena ini kan hari libur nasional, sekalian bisa jadi hiburan tersendiri dan lebih mengetahui seperti apa tradisi ibadahnya orang Cina saat merayakan Imlek,” ucap warga Banjarmasin ini.
Suasana di luar kelenteng, selain dipenuhi warga juga tampak semarak karena banyak digantungi lampion merah berbentuk bundar khas Cina.
Sebuah menara yang memiliki banyak jendela yang disebut pagoda yang berada di halamannya tampak berasap karena usai sembahyang.
Warga keturunan Tionghoa itu membakar uang kertas khas Cina di pagoda itu sebagai persembahan kepada dewa dan diyakini uang itu akan menjadi bekal hidup mereka saat di akhirat nanti.
Sementara di dalam ruangan tampak semarak karena banyak lilin merah baik besar maupun kecil menyala.
Aroma wangi dupa khas Cina, yaitu hio, memenuhi ruangan.
Asap pun mengepul-ngepul, menyeruak menebarkan wangi hio.
Seorang di antara mereka, Lili, tampak menyalakan beberapa batang hio lalu memulai ritual ibadahnya sambil berdoa.
Ia terlihat menggerak-gerakkan kedua tangannya yang memegang hio ke atas dan ke bawah beberapa kali.
Hal itu dilakukannya beberapa kali di depan beberapa altar dewa.
Setelah itu, hio-hio itu ditancapkannya di sebuah guci di altar tersebut.
Usai itu, dia membawa serangkaian uang kertas Cina berwarna kuning yang dibelinya seharga Rp 10 ribu dari pengurus kelenteng ke pagoda di halaman kelenteng.
Dia hendak membakar uang tersebut.
Setelah menyulutkan api ke uang itu, dia menaruhnya ke dalam pagoda lalu berdoa sambil menangkupkan kedua telapak tangannya lalu menggerak-gerakkannya ke atas dan ke bawah beberapa kali sembari berdoa.
“Ini tahun monyet api, harapan saya semuanya berjalan lancar saja. Jangan ada musibah apa pun,” katanya saat ditemui BPost Online.
Dia pun menaruh harapan dalam uang kertas yang dibakarnya itu.
Katanya, di uang kertas itu sudah tertulis berbagai doa dalam Bahasa Cina untuk mereka yang membakarnya.
“Saya nggak mengerti bahasanya, intinya sih doa-doa untuk tahun ini. Harapan saya, dengan membakar uang ini sebagai persembahan ke dewa, semoga segala keinginan saya dikabulkan, sampai ke dewa di kayangan,” demikian harapannya.
Senada dengan warga keturunan Tionghoa lainnya, Mela yang tampak khusyuk beribadah.
Dia berharap dengan melakukan semua ritual ibadah warisan nenek moyangnya ini, dia sekeluarga bakal dihindarkan dari masalah apa pun di tahun monyet api ini.
Di kelenteng ini, tak hanya ornament khas Cina yang memenuhi altarnya saat perayaan Imlek, namun juga ada kembang barenteng khas Banjar.
Rentengan kembang yang terdiri dari melati, kenanga, mawar dan cempaka itu tampak digantung di guci-guci yang ada di hampir semua meja altarnya.
Bunga-bunga itu tampak segar, pertanda baru saja diletakkan.
Aroma wanginya tak terlalu tercium, kalah dengan semerbak wangi hio yang lebih mendominasi.
Walau begitu, pemandangan ini tampak unik karena menandakan sebuah perpaduan budaya peninggalan agama Hindu di masyarakat suku Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan yang masih mengakar hingga sekarang dengan budaya Cina yang ada di kota ini.
Pengurus kelenteng ini, Tiono Husin, mengatakan kembang barenteng itu memang sengaja diletakkan di situ karena wanginya.
“Dalam kepercayaan orang Cina, dewa senang dengan yang serbawangi. Makanya ada adat membakar hio yang wangi, dengan harapan melalui asapnya itu, segala doa umat-Nya akan sampai ke kayangan dan dikabulkan,” paparnya.
Soal tradisi membakar uang, katanya, diyakini uang-uang itu akan bisa digunakan orang-orang Cina yang membakarnya saat mereka hidup di surga kelak.
“Kami meyakini itu semacam tabungan untuk biaya hidup di akhirat nanti. Selain itu untuk persembahan saban Imlek ke dewa di kayangan dan Dewa Tanah di bumi,” tuturnya.