Mampir di Kedai Taufik Kopi 2, Lhokseumawe: Begitu Dicicip, Anda Tak Akan Lari ke Warung Lain
"Kopi ini soal rasa. Begitu dicicipi nikmat, penikmat kopi tak kan lari ke warung lain. Itu catatannya khusus penikmat kopi."
Editor: Malvyandie Haryadi
Setelah itu baru diproduksi di Taufik Banda Aceh. Dari sana lah bubuk kopi yang kami gunakan berasal,” sebut Abdullah.
Saat awal membuka warung kopi dua tahun lalu, Abdullah sama sekali tidak ragu kopinya tak akan diminati.
Dia bahkan optimis bersaing dengan warung kopi lainnya yang lebih dulu hadir di Lhokseumawe.
“Kopi ini soal rasa. Begitu dicicipi nikmat, penikmat kopi tak kan lari ke warung lain. Itu catatannya khusus penikmat kopi. Kalau bukan penikmat kopi, maka dia tak akan paham rasa kopi yang nikmat,” sebut Abdullah.
Ayah satu putri ini menyebutkan, kini untuk kedua warungnya saban bulan dia membutuhkan 300 kilogram bubuk kopi per hari.
Sedangkan khusus kopi Arabica, maka Abdullah mendatangkan langsung biji kopi dari Aceh Tengah dan diproduksi di warungnya. “
"Saya minta biji kopi Arabica yang kualitas bagus. Harganya sekitar Rp 200.000 per kilogram untuk memproduksi kopi Arabica,” ujarnya.
Warung itu buka sejak pukul 08.00 WIB hingga tengah malam.
Dia mempekerjakan 20 orang karyawan untuk dua warung kopiya.
Apakah menguntungkan membuka warung kopi di tengah banyaknya warung kopi di Aceh?
“Masih menguntungkan. Catatannya rasanya harus nikmat. Jika tidak, pelanggan akan lari,” terang Abdullah.
Dia berhasil meraup laba bersih sekitar Rp 30 juta per bulan. Laba itu terbilang besar untuk persaingan warung kopi yang kian banyak di Aceh saat ini.
Kini, kopi merupakan salah satu bisnis yang menjanjikan di Aceh. Tinggal lagi, menjaga cita rasa dan layanan untuk pelanggan yang baik.
“Saya optimis kopi terus diminati, karena masyarakat kita memang pecinta kopi,” pungkasnya.
Kompas.com/Masriadi