Sehabis Makan Jengkol Biasanya Pipis Bau Banget, Tapi Kalau Makannya di Warung Ini, Enggak!
Kedai Republik Jengkol ini melempar janji. Pipis tak akan bau meski sehabis menyantap aneka makanan jengkol di kedai ini. Serius?
Editor: Agung Budi Santoso
Sayangnya, Mujiyem mengeluh harga jengkol yang kadang fluktuatif. Ramadhan tahun lalu, misalnya, harga jengkol sempat mencapai Rp 120.000 per kg melampaui harga daging sapi.
Semula anti
Pegiat jengkol tak berarti pada mulanya pencinta jengkol. Seperti Fatoni, yang semula mengaku anti jengkol karena tak tahan baunya. Namun, sang istri amat menggemarinya. Fatoni lantas terpikir mencari cara mengolah jengkol agar tak lagi berbau.
Dia mengaku enggan terjebak pada citra jengkol yang hina. Setelah melepaskan kariernya sebagai ilustrator, ia bertekad mendirikan rumah makan khusus jengkol tanpa bau. Ia tak peduli kepada orang-orang yang menertawakan warungnya.
Cemoohan juga sempat diterima Gunarsah saat mempromosikan masakan jengkolnya di ajang car free day. Orang-orang yang ditawari jengkol bebas bau tetap menutup hidung.
Inlander
Mengapa suatu makanan, seperti jengkol, bisa menyandang citra hina secara sosial? Sejarawan JJ Rizal menganggap hal itu tak terlepas dari warisan paradigma yang terbentuk sejak
zaman Belanda ketika makananmakanan tertentu dikotak-kotakkan menurut kelas sosial.
Rizal mencontohkan seperti jengkol, nasi pada mulanya distigmatisasi sebagai makanan inlander, tidak berkelas, tidak bermartabat, bahkan dikutuk sebagai sumber bau badan.
”Itu makanan pribumi. Dalam perjalanannya, orang Belanda ketika itu lalu diam-diam sampai terbuka menyenangi nasi. Mereka menyiasatinya dengan ritual ekstravaganza yang memunculkan rijsttafel,” kata Rizal.
Menurut Rizal, nasib durian yang juga berbau menyengat lebih baik daripada jengkol. ”Ini berkat stimulus elite yang terlibat dalam bisnis durian bangkok yang dihadirkan waralaba berkelas,” tambah Rizal.
Rizal juga kadang mencermati, kalangan elite yang menggemari jengkol masih terbelenggu gengsi. Itu mencerminkan betapa makanan pun bisa dianggap menyandang aib yang berpotensi menodai citra kelas. Inilah yang disebut Rizal sebagai arogansi kelas yang bersembunyi dalam produk budaya, yaitu makanan.
”Agar tidak malu pun, kelas menengah-atas bahkan menciptakan bahasa samaran atau kode untuk jengkol,” ujar Rizal. Lantas terciptalah istilah jengki yang terdengar lebih cute. (FRO)