Zapin Api: Atraksi Mistis Menari dalam Kobaran Api di Bengkalis Riau yang Nyaris Punah
Pertunjukan zapin api itu sungguh memesona. Sukar menggambarkan suasana musik ritmik berpadu dengan unsur mistis.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, BENGKALIS - Bunyi gendang kompang atau rebana menghidupkan malam.
Debur ombak sesekali terdengar di lapangan kecil lokasi pertunjukan tarian zapin api, di tepian pantai ujung Pulau Rupat, Desa Tanjung Medang, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, Riau, pertengahan April.
Petikan dawai gambus oleh Abdullah Husein (72) yang menjadi irama utama tarian langka itu terdengar samar-samar.
Suara alat musik petik yang dimainkannya kalah dari bunyi mengentak alunan gendang.
Seorang pemuda mendekatkan mikrofon ke arah gambus agar suaranya dapat mengimbangi bunyi tabuh.
Dua pemuda pengatur api mulai membakar tumpukan sabut kelapa kering di lapangan kecil berukuran sekitar 15 meter x 15 meter.
Api berkobar dan asap menyeruak ke mana-mana.
Lima penari, yang semuanya laki-laki tanpa baju, Samin (53), Iwan (33), Agus (52), Udin (32), dan Ahmad (27), berkumpul membentuk lingkaran.
Mereka duduk bersila mengitari dupa berisi kemenyan yang dibakar.
Bau kemenyan membuat suasana berbau mistis.
Abdullah Husein, sebagai khalifah—sebutan untuk pemimpin dan pengatur laku tarian zapin api—merapal doa-doa.
Tiba-tiba, tanpa dikomando, Iwan berdiri.
Tubuhnya bergerak perlahan mengikuti alunan gendang.
Pandangan matanya kosong.
Meskipun fisiknya berada di tempat itu, jiwanya seperti di tempat lain. In trance.
Itulah yang terjadi. Persis pemain kuda lumping di Jawa yang tengah kesurupan.
Iwan menari dengan gerakan cenderung kaku, tetapi selaras dengan irama tabuhan.
Posisi tegaknya seperti robot, tetapi dapat meliuk mengikuti irama.
Zapin Api. (Kompas/S Rangkuti)
Tanpa diduga, Iwan berjalan menuju kobaran api.
Dua tangannya dengan enteng meraup sabut-sabut kelapa yang terbakar, seperti gerakan menyauk air di sungai dengan dua tangan, dan melemparkannya ke udara.
Kobaran api beterbangan dan bunga api perlahan turun dengan butiran kecil.
Mata penonton kembali terbelalak ketika Iwan berjalan pelan dan menari melintasi api berkobar.
Tidak ada rintih kesakitan.
Penonton perempuan dari rombongan Dinas Pariwisata Riau, yang baru pertama kali melihat atraksi itu, terdengar menjerit pelan.
Empat penari lain masih duduk bersila.
Rapalan mantra dan ayat-ayat yang dilakukan Abdullah ternyata belum membuat mereka tersambung untuk bermain.
Main adalah kata yang menggambarkan peran kesurupan penari sehingga mampu bercengkerama dengan api.
Iwan yang menari sendirian mundur dan mendekat ke rekan-rekannya.
Dia memijat bahu Samin. Entah kenapa, setelah kontak itu, Samin bangkit dan mulai menari.
Samin kemudian melebur ke dalam api dan menari.
Dia mengambil sepotong bara dan menggosokkan ke lengan, seolah bara api itu hanyalah kemoceng bulu.
Tidak ada lecet, hangus, atau melepuh di kulit.
Bahkan, rambut halus di tangannya tidak terjilat api.
Hanya berkisar lima menit Samin bermain.
Dia lalu mendekat ke salah seorang pemain gendang dan merebut alat musik itu.
Samin menari sambil memukul gendang lebih keras.
Malam itu hanya Samin dan Iwan yang bermain. Agus, Udin, dan Ahmad sebenarnya sudah tampak masuk.
Ketiga orang itu sudah dibantu berdiri oleh Iwan dan Samin, tetapi sebentar kemudian mereka terkapar kejang dan menggeliat.
Perhatian Abdullah menjadi terbelah. Di satu sisi dia harus mengaktifkan ”mesin” para penarinya agar mampu bermain di atas api.
Namun, peran sebagai pemetik gambus tidak dapat ditinggalkan.
Petikan gambus justru bertujuan membuat irama musik bertahan konstan agar penari yang sudah bermain dapat melanjutkan aksi mereka.
Karena tidak ada kemajuan, Abdullah memutuskan menghentikan atraksi.
Tidak ada lagi suara musik.
Semua pemain disadarkan dengan rapalan doa yang dibaca oleh Abdullah. Satu per satu siuman.
Setelah sadar, mereka terkulai lemas, diam, tertunduk, dan merasa sangat lelah.
Tidak ingat
Dalam perbincangan setelah selesai menari, Iwan tidak mengingat aktivitas sebelumnya.
Yang diingatnya, ada seorang gadis cantik menari mengelilingi taman bunga.
Dia mengikuti gadis itu menari. Ketika Iwan mengambil bunga dan melemparkan ke atas, yang dilihatnya bunga beterbangan, sementara di mata penonton adalah percikan bunga api.
”Saya menari bersama gadis itu. Namun tidak lama dia menjauh dan menghilang,” ujar Iwan.
Adapun Samin mengatakan tidak melihat gadis menari, tetapi irama musik memaksanya terus bergoyang.
Dia juga tidak ingat telah merampas gendang salah seorang pemain.
Menurut Abdullah, atraksi zapin api malam itu memang tidak sempurna.
Pokok masalahnya ternyata irama gendang kurang pas.
Salah seorang penabuh kompang adalah pemain pengganti yang baru belajar karena pemain utama tengah ke luar kota.
Karena itulah, Samin yang sedang menari merebut gendang pemain baru itu.
Petikan gambus juga tidak terdengar jelas.
Musik pengantar zapin malam itu terasa kacau dengan komposisi kurang menyatu sehingga membuat tarian kurang sempurna.
Meskipun tidak sempurna, pertunjukan zapin api itu sungguh memesona.
Sukar menggambarkan suasana musik ritmik berpadu dengan unsur mistis.
Tidak dapat dicerna logika, api yang panas membara tidak mampu melukai kulit penarinya.
Zapin api adalah tradisi Pulau Rupat, Riau, yang nyaris punah.
Menurut Abdullah, ayahnya, Husein (almarhum), adalah khalifah zapin api yang terkenal pada era 1940 hingga 1970-an.
Ilmu ayahnya diturunkan kepada Abdullah.
Ketika ayahnya meninggal, Abdullah meneruskan tradisi zapin api sampai dengan era 1980-an.
Dia kerap diundang dalam acara pesta kawin, sunatan, atau acara penting lain.
Namun, zapin api meredup dan mati suri seiring dengan munculnya musik organ tunggal atau kibor dangdutan.
”Pada tahun 2013, Pak Edwar (Kepala Dinas Pariwisata Bengkalis) meminta saya menghidupkan zapin api lagi. Sejak saat itu, saya mulai mencari penari dan penabuh gendang. Sekarang ini sudah ada lima penari dan pemain gendang yang siap tampil,” tutur Abdullah yang juga seorang nelayan.
Di usia senjanya, Abdullah tidak menginginkan tradisi zapin api mati bersama dirinya.
Kini dia tengah menyiapkan anak laki-lakinya, Umar (40), untuk menjadi khalifah baru melanjutkan tradisi. (Kompas/Syahnan Rangkuti)