Masjid Kuno Tegalsari di Solo, Tetap Kokoh Meski Tak Pernah Direnovasi Sejak Tahun 1929
Bangunan masjid ini tidak pernah direnovasi sejak berdirinya masjid pada tahun 1929.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Eka Fitriani
TRIBUNNEWS.COM, SOLO – Masjid Tegalsari yang terletak di Jl. Dr Wahidin, Bumi, Laweyan ini tetap menjaga keaslian bangunan sejak tahun 1929.
Bangunan masjid ini tidak pernah direnovasi sejak berdirinya masjid pada tahun 1929.
Masjid Tegalsari. (Tribunsolo/Eka Fitriani)
Masjid Tegalsari ini dibangun pada tahun 1928 dan diresmikan pada tahun 1929.
Selama 87 tahun berdirinya Masjid Tegalsari tidak pernah direnovasi.
Bangunan masjid masih sama sejak pertama kali masjid ini berdiri.
Menurut Sakur, ta’mir masjid mengatakan kekokohan bangunan tidak lepas dari prinsip-prinsip yang dianut oleh pendirinya.
Pendiri Masjid ini bernama KH. Ahmad Shofawi, beliau menganut kesucian dalam pembangunan masjid dengan cara tidak mencari dana keluar masjid.
Masjid ini menggunakan materiil yang suci, pada umumnya zaman dulu pembuatan batu bata dicampuri dengan kotoran sapi agar tanahnya ulet.
Jam matahari. (Tribunsolo/Eka Fitriani)
Namun batu bata yang digunakan untuk membuat masjid Tegalsari tidak menggunakan campuran tersebut sehingga kesuciannta benar-benar diyakini.
Tukang bangunan yang ikut membangunpun harus dalam keadaan suci dengan cara berwudhu terlebih dahulu.
Sakur mengatakan tukang bangunan buang air kecil atau buang air besar harus berwudhu terlebih dahulu sebelum melanjutkan membangun masjid.
“Jaman dulu pekerja bangunannya harus muslim dan harus bersih, jika dia buang air kecil dsb maka harus berwudhu baru bisa melanjutkan membangun masjid,” katanya.
Masjid ini mempunyai luas 357 meter persegi, panjang 21 meter dan lebar 17 meter.
Terletak di Tegalsari yang mempunyai arti kebun yang indah.
Bangunan ini berarsitektur kerajaan Islam Jawa dengan model Walisongo dan masjid Demak.
Terdapat 4 pilar di ruangan utama masjid yang terbuat dari kayu jati.
Keseluruhan kayu di masjid ini dibuat dari kayu jadi kecuali bedug yang terbuat dari kayu pohon nangka.
Bangunan masjid ini sama dengan masjid-masjid kuno yang lain yaitu terdiri dari bagian/ruang utama, serambi kanan dan serambi kiri yang disebut pawasren (pawasren dari kata istri/wanita).
Pawastren masjid Tegalsari berada di serambi kanan, hal ini dimaksudkan bahwa pria dan wanita sama di mata Allah SWT.
“Kebanyakan masjid itu shaf jamaah perempuan itu di belakang pria, di Masjid ini tidak karena wanita dan laki-laki sama di mata Allah SWT makanya pendiri masjid ini membuat shaf wanita di sebelah kanan,” kata Sakur.
Selain itu, keunikan majid ini adalah adanya Istiwa’ atau jam matahari yang berada di sebelah kiri bangunan.
Jam matahari ini masih berfungsi hingga sekarang.(*)