Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sirine di Masjid Raya Baiturrahman Aceh Sudah Ada Sejak Kolonial Belanda

Bagi masyarakat Aceh khususnya wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar, tentu tidak asing lagi dengan bunyi khas pertanda buka puasa di bulan Ramadan.

Editor: Anita K Wardhani
zoom-in Sirine di Masjid Raya Baiturrahman Aceh Sudah Ada Sejak Kolonial Belanda
dok Serambi Indonesia
Masjid Raya Baiturrahman Aceh 

Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Eddy Fitriady/ Nurul Hayati

TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Bagi masyarakat Aceh khususnya wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar, tentu tidak asing lagi dengan bunyi khas pertanda buka puasa di bulan Ramadan.

Raungan itu berasal dari sirine tua yang hingga saat ini masih berfungsi baik.

Menurut riwayat sirine tua itu merupakan peninggalan zaman Belanda itu dan ditempatkan di puncak menara Selatan Masjid Raya Baiturrahman (MRB) Banda Aceh.

Tribun Travel berkesempatan melihat langsung sirine legendaris tersebut menjelang Bulan Ramadan.

Ditemani Samsul, seorang staf kesekretariatan masjid, kami diizinkan masuk ke menara setinggi 35 meter itu.



Samsul mengatakan, bunyi sirine itu hingga kini masih menjadi pengingat imsak dan berbuka puasa bagi masyarakat Banda Aceh dan Aceh Besar.

Bahkan, sejak puluhan tahun lalu, suara khas tersebut menggema di RRI Banda Aceh, Radio Baiturrahman, dan sejumlah radio swasta lainnya, termasuk kini di Radio Serambi FM.

“Selama ramadhan, sirine ini dihidupkan tiga kali yaitu pada pukul 3 dini hari, saat imsak, dan berbuka puasa,” kata pria yang telah puluhan tahun mengabdi di MRB.

Selanjutnya kami menaiki tiap anak tangga menara, hingga ke tingkatan ke-6, tempat benda pusaka itu bersemayam.

Sedikitnya, ada 20 anak tangga di tiap tingkatan menara MRB Banda Aceh.

Saat mencapai puncak menara, Samsul menunjukkan kami sebuah benda unik menyerupai baling-baling besi yang sudah berkarat.

Di sampingnya tersandar potongan drum minyak, sebagai penutup mesin tua saat hujan.

Baling-baling itu terhubung dengan dinamo yang saklarnya berada di ruang operator kesekretariatan MRB.

Dengan sigap, Samsul menelepon operator untuk menghidupkan benda kuno tersebut.

Spontan saja kami tersentak saat mesin tua itu tiba-tiba bergerak.

Putaran kencang baling-baling besi itu menimbulkan suara seperti orang meraung.

Ternyata bunyi sirine itu terdengar menakutkan dari jarak dekat, bahkan getaran sangat terasa saat kita berada di dekat mesin.

Samsul yang berada di belakang hanya tersenyum geli saat melihat kami panik.

Setelah mendengar sirine berbunyi selama 5 menit, kami pun turun dari menara dan menjumpai si operator.

Heri Ansari (48), operator kelistrikan MRB yang juga bertugas sebagai operator sirine mengatakan, bunyi sirine dapat terdengar hingga radius 5 kilometer tanpa pengeras suara.

“Kira-kira 5 km, atau kurang lebih sampai pelabuhan Ulee Lheue,” kata pria yang sejak umur 18 tahun bekerja di masjid kebanggaan masyarakat Aceh itu.

Menurutnya, tidak ada perawatan khusus terhadap sirine, namun dinamonya perlu dicek secara berkala.

Heri tambahkan, bunyi khas sirine versi radio telah direkam sejak lama, dan diputar selama satu bulan setiap tahunnya.

“Namun saya tetap rutin menghidupkan sirine itu bersamaan dengan bunyi di radio,” jelasnya.

Menurut dia, sirine tersebut aslinya pakai dayungan manual untuk menggerakkan baling-baling penghasil bunyi itu.

Namun saat ditempatkan di menara masjid, alat tersebut dimodifikasi dengan memasang dinamo dan dihubungkan ke arus listrik.

“Jadi operator tinggal menekan tombol saja untuk membunyikan sirine,” jelas Heri sambil menjelaskan baling-baling sirine tidak pernah rusak sejak dulu, hanya saja dinamonya yang sekali-kali perlu diservis.

Sejarah panjang



Menurut Tgk Amir Hamzah, penceramah populer dan juga pengurus di MRB, sirine itu telah menjadi ikon pengingat sahur dan buka puasa sejak RRI Kutaraja ada.

Menurutnya, RRI Kutaraja berdiri beberapa saat setelah kemerdekaan.

Saat itu Badan Perkeretaapian Aceh mempunyai 2 sirine pertanda masuk-keluarnya kereta.

Ketika stasiun kereta api dibongkar pada tahun 80-an, satu sirine diberikan kepada Pengurus Masjid Raya Banda Aceh.

Dikatakan, dirinya mendengar asal muasal sirine itu langsung dari Imam Besar Masjid Raya pada era 1990an, Alm Tgk H Sofyan Hamzah. Disebutkan bahwa almarhum merupakan saksi sejarah perkembangan MRB dari masa ke masa.

“Saya beruntung bisa mewawancarai langsung dia. Apa yang saya sampaikan ini, saya dengar langsung dari imam besar Sofyan Hamzah,” jelas Amir Hamzah yang juga mantan wartawan senior di Aceh.

Amir mengatakan, timbul spekulasi di kalangan masyarakat saat ini terkait asal muasal sirine kuno itu. Ada yang mengatakan benda itu berasal dari zaman Belanda, namun ada juga yang katakan dari zaman Jepang.

“Jika dikatakan itu sirine dari zaman belanda, bisa saja benar. Sebab sebelum kemerdekaan, Perkeretaapian itu milik Belanda,” katanya.

Dia tambahkan, sirine yang didengar di radio saat ini merupakan hasil rekaman, yang merupakan inisiatif Kepala Badan Penerangan Aceh pascamerdeka, Abdul Gani Mutiara.

“Abdul Gani Mutiara saat itu juga menjadi kepala RRI Banda Aceh. Dia berinisiatif merekam suara sirine itu di piringan hitam, agar bisa disiarkan lewat radio dengan jangkauan lebih luas,” sebutnya, dan mengaku sirine tersebut direkam beberapa tahun setelah RRI Kutaraja didirikan.

Rekaman suara sirine sudah ada sejak sirine belum dinaikkan ke puncak menara.

RRI yang menjadi pelopor untuk merekam bunyi sirine dan diikuti Radio Baiturrahman yang baru didirikan pada 1973.

Sedangkan pembangunan empat menara MRB selesai sekitar tahun 1968.

Hingga kini, raungan sirine Masjid Raya Baiturrahman masih menjadi acuan masyarakat dalam menjalankan ibadah Ramadhan.

Maka tak heran, ada semacam keyakinan di kalangan masyarakat Aceh--utamanya Banda Aceh dan Aceh Besar--sirine menjadi penanda waktu paling afdhal untuk berbuka maupun imsak.

Bagi masyarakat Aceh, Masjid Raya Baiturrahman bukan sekedar rumah ibadah.

Masjid tersebut adalah simbol dari spirit perjuangan.

Pernah dibakar dan dibangun kembali oleh penjajah Belanda tatkala perang Aceh berkecamuk.

Di masjid ini pula lah salah seorang jenderal Belanda, Kohler meregang nyawa.

Ketika dari balik reruntuhan masjid seorang gerilyawan Aceh, Teungku Imum Luengbata (19) melesakkan besi panas tepat di jantung sang jenderal.

Sebuah peristiwa yang memukul mental serdadu Belanda dan menggemparkan Eropa.

Tak heran, Masjid Raya Baiturrahman yang dibangun pada tahun 1612 itu bukan sekedar rumah ibadah, melainkan benteng pertahanan.

Masjid yang dibangun pada abad ke-17 itu telah melawat melintasi zaman dari era kerajaan, perang kemerdekaan, hingga bencana maha dahsyat tsunami.

Tempat ini adalah destinasi 'wajib' bagi mereka yang melakukan wisata reliji di Aceh.

Nah! Jika anda berkunjung ke Kota Banda Aceh sekarang, maka anda akan mendapati masjid kebanggaan sekaligus ikon Aceh itu sedang dipugar.

Perluasaan proyek meliputi landscape dan infrasruktur tersebut menurut target memakan waktu 700 hari.

Menurut rencana pekarangan masjid yang sudah berumur 4 abad lebih itu akan disulap layaknya Masjidil Haram di Mekkah.

Menegaskan simbol Aceh sebagai Serambi Mekkah.

Berita Rekomendasi
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas