Masjid Teungku Di Anjong, Situs Sejarah Islam di Banda Aceh
Pesantren ini pernah dibakar oleh Belanda karena dianggap sebagai pusat doktrin antipenjajahan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, ACEH – Berdiri sejak abad ke-18 silam, Masjid Teungku di Anjong masuk dalam pembabakan penting perkembangan Islam di Aceh dan Nusantara.
Adalah Sayyid Abu Bakar Bin Husin Bafaqih, seorang ulama dari jazirah Arab yang mengembara mendakwahkan Islam dan mewakafkan tanah untuk mendirikan masjid di atas lahan yang dulunya merupakan dayah (pesantren salafi).
Pesantren ini pernah dibakar oleh Belanda karena dianggap sebagai pusat doktrin antipenjajahan
Kini jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid yang berlokasi di Desa Peulanggahan Kecamatan Kutaraja Kota Banda Aceh.
Bersisian dengan sang istri, seorang Syarifah dari Hadhramaut, Negeri Yaman, tempat keduanya berasal.
Makam tersebut kerap menjadi tujuan peziarah dari Malaysia, Singapura, Persia, dan Yaman.
Masih dalam kompleks masjid, terdapat pemakaman umum milik warga desa setempat.
Masjid ini juga tak luput disapu tsunami pada pengujung 2004 lalu.
Hingga hanya menyisakan kompleks makam ulama dan kerabat dari tanah Arab itu serta mimbar.
Untuk meletarikan situs sejarah Islam di Banda Aceh, masyarakat Peulanggahan masih tetap menjaga bentuk bangunan masjid tersebut seperti sedia kala.
Masjid dan makam ini kembali dibangun oleh BRR Aceh pada tahun 2009 dengan struktur beton.
Namun tetap menjaga bentuk awalnya dengan tambahan sarana lainnya seperti halaman aspal dan tempat wudhuk.
Menurut catatan peristiwa tersebut hanya menyisakan 700-an jiwa dari 4.000-an jiwa penduduk desa setempat.
Untuk mengenang mahaduka itu, didirikan sebuah tugu di sisi masjid sebagai pengingat kepada generasi selanjutnya.
“Pada setiap 14 Ramadhan diadakan haul bertepatan dengan meninggal Teungku Di Anjong,” terang penjaga makam, Fahmi kepada Tribun Travel.
Ya, sekilas arsitektur Masjid Teungku Di Anjong ini mirip Masjid Demak, di Jawa Tengah.
Masjid yang dikenal menjadi tempat berhimpunnya walisongo dan menjadi pembabakan penting penyebaran Islam di tanah Jawa.
Arsitektur Masjid Teungku Di Anjong berupa bangunan induk yang dilengkapi serambi dengan tiga lantai yang mempunyai makna filosofi.
Lantai pertama disebut dengan hakikat, lantai kedua tarekat, dan lantai ketiga makfirat.
Teungku berasal dari bahasa lokal yang bermakna ustad.
Gelar Teungku Di Anjong disematkan karena kebiasaan Sayyid Abu Bakar Bin Husin Bafaqih beribadah di anjungan masjid.
Di Anjong juga bermakna ‘disanjung’ atau ‘dimuliakan’
Teungku Di Anjong adalah seorang ulama besar yang hidup pada masa Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Alauddin Mahmud Syah (1760 - 1781 M).
Dikenal sebagai ulama tasawuf, juga berperan sebagai ulama fikih dan telah membimbing manasik haji bagi calon-calon jamaah baik dari dalam wilayah kesultanan Aceh, Sumatera, Jawa, bahkan juga jamaah dari Semenanjung Malaya yang akan menunaikan ibadah haji melalui Aceh.
Bisa dikatakan bahwa gelar Aceh Serambi Mekah sangat erat kaitannya dengan peran Tengku Di Anjong dalam membimbing jamah haji yang mendapatkan dukungan kerajaan Aceh pada masa itu.