Dulu Diusir, Kini Rumah Peninggalan Orang Kalang Dijadikan Objek Wisata
Pada masa raja-raja tanah Jawa, konflik penduduk asli dan pendatang pernah merobek Kota Gede. Akibatnya, orang-orang Kalang kala itu tercerai-berai.
TRIBUNNEWS.COM - Pertarungan penduduk asli dan pendatang kerap kali mengoyak kerukunan di satu wilayah.
Jauh sebelum itu, masa raja-raja tanah Jawa, konflik serupa pernah merobek Kota Gede.
Akibatnya, orang-orang Kalang kala itu tercerai-berai. Mereka meninggalkan rumah kejayaan mereka dan warisan keterampilan perak yang kini jadi ladang uang bagi penduduk asli.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi KBR.
Kisah Prawiro Suwarno Tembong, yang merupakan jejak terakhir orang Kalang di Kota Gede, masih hidup meski sudah seabad lebih berlalu.
Pada sentra perak itu, deretan rumah dengan arsitektur campuran Jawa dan Eropa masih gagah berdiri. Dewi, salah seorang pemandu, menunjuk salah satu rumah Tembong.
“Kalau lihat di beberapa pintu ada ukiran mozaiknya. Kaca patri warna-warni, walaupun sudah ada beberapa yang direnovasi, tapi diperbaikin pintu-pintunya aja. Kita bisa lihat kaca patri warna-warni, pilar-pilar gaya Eropa. Tapi di bawah ada pendopo joglo,” jelas Dewi.
Menyaksikan rumah itu, bisa terbayang Prawiro Tembong hidup di sana, dikelilingi perabotan emas bagai Raja Midas.
Pasalnya dulu, Tembong dijuluki Raja Berlian Tanah Jawa sebagai ungkapan untuk menggambarkan betapa kayanya dia.
“Karena harta beliau saking banyak sampai punya emas batangan sebesar jerigen minyak tanah. Juga ada hiasan dari emas berbentuk pisang. Semua emas murni,” terang Dewi.
Riwayat Wong Kalang kali pertama ditemukan pada zaman Majapahit.
Catatan lain muncul pada abad ke-17 ketika kedatangan seorang ahli ukir dari Bali, Joko Suroso.
Joko datang ke Kota Gede setelah dipanggil Sultan Agung, yang pada saat itu adalah Raja Mataram.
“Masa kejayaan Mataram, Sultan Agung dari Mataram Islam memanggil Joko Suroso, seorang ahli ukir dari Bali untuk mengukir Keraton Mataram dan membuat desain arsitektur keratin,” kata Dewi.
“Joko ini ternyata jatuh cinta dengan keponakan Sultan. Sultan kemudian kecewa, tapi dia merestui. Syaratnya, mereka enggak boleh kembali ke Kota Gede. Akhirnya mereka memutuskan kembali ke tempat asal si puteri ini, Banyumas,” tambahnya lagi.
“Sultan Agung bilang ketika kamu di Banyumas, kamu dikalang. Artinya dikunci, ga boleh keluar dari Banyumas. Tapi lama-kelamaan kan mereka beranak-pinak, ya keluar dari Banyumas sampai ke daerah Kroya, Kebumen,” ungkap Dewi.
Selepas Sultan Agung mangkat, keturunan Kalang kembali ke Kota Gede.
Dengan kemahiran mereka berdagang dan mengukir, orang-orang ini justru menjelma menjadi saudagar-saudagar kaya.
Beberapa juga mendirikan rumah gadai. Dari situlah, penduduk asli Kota Gede mencari pinjaman uang.
Nama Tembong yang paling membekas. Selain kisah kekayaannya yang luar biasa, Tembong dikenal eksentrik. Hobinya membagi-bagikan uang dari dalam mobilnya.
“Katanya supaya semua bisa menikmati baik besar kecilnya berapa, tanpa Tembong tahu uang itu didapat oleh siapa. Jadi kalau dulu salah satu cucu beliau bilang kenapa harus dibuang-buang, dia bilang kalau saya bersedekah saya milih orang yang saya senangin saja. Yang enggak saya senang, jadi enggak dapat. Tapi kalau dengan cara ini semua bisa menikmati,” ujar Dewi.
Kebiasaannya itu dianggap arogan. Tapi memang, kalau menyebut nama Tembong kepada para prajurit Belanda dulu, maka boleh jadi mereka akan menyebut si saudagar ini pongah.
“Beliau yang membuat kontroversi karena ingin membuat salah satu ruangan di rumahnya, lantainya dari koin emas. Gulden. Tapi enggak disetujui sama Belanda. Dianggap menghina Ratu Belanda. Akhirnya boleh bikin, tapi enggak boleh ditidurin. Harus berdiri posisinya,” terang Dewi.
Meski begitu, Tembong banyak membantu Keraton Yogyakarta.
Di masa-masa ketika kondisi keuangan keraton buruk, Tembong sedikit-banyak sering menyumbang. Begitu pula orang-orang Kalang lainnya.
Tapi, hikayat mereka di Kota Gede berhenti ketika pada suatu hari kerusuhan pecah.
Agaknya penduduk asli Kota Gede sudah tidak betah. Mereka merasa menjadi budak di kampung mereka sendiri. Sehari-hari bekerja untuk orang-orang Kalang.
Rumah Tembong dan orang Kalang lainnya diserbu penduduk, dijarah. Para pemiliknya kabur, menyelamatkan diri.
“Orang Kalang, meski mereka membantu menaikan ekonomi, tetapi mereka bukan penduduk asli. Mereka tidak pernah dianggap sebagai pribumi asli. Akhirnya pada waktu itu, timbulah penjarahan dan perampokan besar-besaran,” jelas Dewi.
Nasib Tembong sejak itu simpang siur. Ada yang mengatakan dia kabur bersama orang Kalang lainnya ke Plered. Ada juga yang bilang Tembong mati dibunuh perampok. Kisah lain berakhir dengan Tembong mati bunuh diri.
Dewi sendiri tak berani memastikan.
Kini, rumah dan usaha orang Kalang diambil alih orang-orang asli Kota Gede.
Beberapa rumah sudah alih fungsi menjadi restoran atau galeri. Arsitekturnya tetap dipertahankan yang asli.
Sementara keturunan Kalang kini tersebar di Jogja, Kroya, Banyumas, hingga Cirebon. Kebanyakan kembali berdagang, namun tidak lagi menjual logam mulia atau bebatuan. Dewi mengatakan, kebanyakan dari mereka menjadi pengusaha sukses. Salah satunya pemilik hotel besar di Jogja.
Penulis: Ria Apriyani/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)