Tujuh Faktor yang Memicu Pertumbuhan Kedai Kopi di Indonesia
Melihat perkembangan faktor-faktor pendorong tersebut, bisnis kedai kopi di Indonesia pada tahun depan diperkirakan masih akan positif
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Riset tentang perkembangan bisnis kedai kopi di Indonesia yang dilakukan oleh MIX MarComm dan didukung oleh TOFFIN melalui indepth interview dengan para pemangku kepentingan di industri kedai kopi Indonesia menunjukkan ada tujuh faktor yang mendorong pertumbuhan bisnis kedai kopi di Indonesia.
Ketujuh faktor itu adalah kebiasaan (budaya) nongkrong sambil ngopi, meningkatnya daya beli konsumen, tumbuhnya kelas menengah, dan harga RTD Coffee di kedai modern yang lebih terjangkau, dominasi populasi anak muda Indonesia (Generasi Y dan Z) yang menciptakan gaya hidup baru dalam mengonsumsi kopi, kehadiran media sosial yang memudahkan pebisnis kedai kopi melakukan aktivitas marketing dan promosi,
Kemudian kehadiran platform ride hailing (Grabfood dan Gofood) yang mPertmemudahkan proses penjualan, rendahnya entries barriers dalam bisnis kopi yang ditunjang dengan ketersediaan pasokan bahan baku, peralatan (mesin kopi), dan sumber daya untuk membangun bisnis kedai kopi dan margin bisnis kedai kopi yang relatif cukup tinggi.
Melihat perkembangan faktor-faktor pendorong tersebut, bisnis kedai kopi di Indonesia pada tahun depan diperkirakan masih akan positif.
Andreas Chang, CEO Tahta Coffee meyakini market kedai kopi masih kuat karena studinya selama lima tahun menunjukkan bahwa konsumsi RTD Coffee meningkat 3x lipat.
Baca: Kembangkan Bisnis Kopi, Faizal Hermiansyah Manfaatkan Kepakarannya Bidang IT
Baca: Tanpa Royalty Fee, Kedai Kopi 98 Tawarkan Konsep Kemitraan
Baca: Kata Raline Shah Keluarga Sudah Lelah Ingatkan Dirinya Menikah
“Ini masih sangat jauh gap-nya. Jadi bisnis ini masih emerging,” tutur Andreas Chang dalam indepth interview.
Sementara Edison Manalu, CEO Harvest Group, memperkirakan pertumbuhannya masih akan double digit.
Dengan jumlah gerai yang terdata saat ini dan asumsi penjualan rata-rata per outlet 200 cup per hari, serta harga kopi per cup Rp22.500, TOFFIN memperkirakan nilai pasar kedai kopi di Indonesia mencapai Rp 4.8 triliun per tahun.
Proyeksi pertumbuhan pada 2020 ini juga berdasarkan insight dari konsumen yang dikumpulkan melalui survei online kepada kalangan muda (generasi Y dan Z) penggemar kopi di Indonesia.
Hasil survei tersebut antara lain menunjukkan bahwa kedai Coffee to Go yang menyediakan RTD Coffee berkualitas dengan harga terjangkau sangat diminati generasi yang mendominasi populasi Indonesia saat ini.
Dalam setahun terakhir, 40% generasi ini membeli minuman kopinya dari gerai kopi jenis ini. Dengan rata-rata alokasi belanja untuk minuman kopi (share of wallet) Rp200.000 per bulan, bisnis kedai kopi jenis ini diperkirakan akan tumbuh signifikan pada tahun-tahun mendatang.
Baca: Kedai di Bandung Ikut Kena Imbas Listrk Padam, Mesin Kopi dan EDC Mati
Baca: Buka Kedai Kopi, Ricky Harun Tak Peduli Banyak Saingan karena Rezeki Sudah Ada yang Atur
Baca: Jokowi-Maruf Unggul dalam Hasil Quick Count Kedai Kopi, Ini Distribusi Suaranya
Ario Fajar, Head of Marketing TOFFIN mengatakan, riset ini penting karena bisa menjadi landasan bagi pelaku bisnis atau calon pebisnis kedai kopi untuk membangun dan mengembangkan usahanya, baik dari sisi sales, marketing, maupun operasional.
“TOFFIN berkepentingan mendukung para pelaku usaha kedai kopi di Indonesia dengan riset ini, agar bisnis mereka bisa bertahan dan berkompetisi. Para pelaku bisnis perlu tahu apa yang sedang tren, bagaimana peta persaingannya, dan seperti apa proyeksi bisnis ke depannya,” ujar Ario.
Para pelaku bisnis kedai kopi di Indonesia membagi perjalanan industri ini ke dalam empat gelombang besar.
Gelombang I (Dekade 1980-1990-an). Pada masa ini, sebagian besar masyarakat Indonesia menikmati kopi instan (dalam kemasan saset) yang disediakan oleh manufaktur produk-produk konsumer (kopi ABC, Kapal Api, Torabika, Nescafe) dan kopi tubruk tidak bermerek. Pada masa ini produk RTD Coffee lebih banyak disediakan oleh warung kopi tradisional dan oleh sedikit gerai kopi modern, yaitu Dunkin (1985), Olala (1990), dan Excelso (1991).
Gelombang II (Dekade 2000). Pada masa ini tren minum kopi di kedai kopi modern mulai berubah dari tren untuk memenuhi kebutuhan fungsional (minum kopi untuk menyegarkan) menjadi untuk memenuhi kebutuhan emosional, di mana menikmati segelas kopi di gerai modern dipersepsi dapat menaikkan gengsi. Masa ini ditandai dengan masuknya brand jaringan kedai kopi modern dari Amerika Serikat Starbucks (2002) dan Coffee Bean (2001).
Gelombang III (Awal dekade 2010 hingga 2015). Pada masa ini apresiasi konsumen terhadap kopi makin meningkat yang ditandai dengan hadirnya kedai kopi artisan seperti Tanamera pada 2013.
Pada masa ini konsumen tidak hanya menikmati gengsi minum kopi di kafe, melainkan mulai tertarik dengan proses produksi secangkir kopi.
Pada masa ini, kehadiran mesin kopi menjadi referensi visual bagi konsumen. Pada masa ini para pebisnis makin menyadari seksinya bisnis kedai kopi di Indonesia. Banyak brand baru mulai masuk ke pasar.
Gelombang IV (2016 sampai sekarang). Pada masa ini besarnya pasar (market size) kedai kopi di Indonesia meningkat signifikan.
Brand baru kedai kopi bermunculan dan masing-masing langsung ekspansif membuka puluhan hingga ratusan cabang di berbagai kota. Untuk menggarap segmen muda (anak-anak sekolah hingga para first jobber), para pebisnis kedai kopi ini membuka kedai Coffee to Go, yaitu kedai kecil yang menyediakan fresh RTD Coffee dengan harga terjangkau untuk dibawa pulang atau tidak dikonsumsi di tempat (take away). Kehadiran platform ride hailing Gofood dan Grabfood ikut mendorong booming-nya kedai Coffee to Go ini.
Untuk menjawab tren dan kebutuhan kedai kopi, TOFFIN menawarkan pilihan produk dan jasa yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan bisnis. Untuk informasi lebih lanjut bisa mengunjungi website atau instagram TOFFIN.