Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ketika Skandal Bank Century Go International
Dipetieskan di dalam negeri, skandal Bank Century ‘terpaksa’ go international dengan harapan menjadi terang benderang.
Editor: Ade Mayasanto
Oleh Bambang Soesatyo*
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - RAKYAT menyuarakan harapannya dengan tulus, maka Tuhan akan membukakan jalan. Dipetieskan di dalam negeri, skandal Bank Century ‘terpaksa’ go international. Gugatan mantan pemilik eks Bank Century, Hesham Al-Waraq dan Rafat Ali Rizvi, terhadap Pemerintah Indonesia di Pengadilan Arbitrase Internasional menjadi jalan terang. Masih berani mengingkari kebenaran vox populi vox dei?
Tidak ada keinginan sedikit pun untuk membela Hesham dan Rafat. Tapi ada sisi positif atau berkah dari gugatan Hesham-Rafat di Atbitrase Internasional. Sebab, gugatan itu layak menjadi faktor kekuatan tambahan bagi kita mendorong penuntasan proses hukum skandal itu di dalam negeri. Setidaknya, harapan rakyat agar skandal Bank Century dituntaskan bisa ditumbuhkan lagi.
Mengapa saya menggambarkannya sebagai berkah atau jalan terang? Sebab, sekarang ini sedang berlangsung skenario memetieskan skandal Bank Century. Upaya ini sudah lama dirasakan. Tapi yakinlah, skenario itu akan sia-sia. Sebab, nurani banyak orang menginginkan skandal itu layak mendapatkan proses hukum yang proporsional.
Dari gugatan Hesham-Rafat, pemerintah dan penegak hukum diingatkan secara tidak langsung untuk menghentikan upaya atau rekayasa memetieskan skandal ini. Kita berharap pemerintah dan penegak hukum menyadari hal ini. Rakyat berharap skandal ini dituntaskan melalui proses hukum. Itulah suara Tuhan. Sampai kapan para penegak hukum kita berani mengingkari hal ini?
Logikanya sederhana. Karena proses hukumnya diganjal di dalam negeri, skandal Bank Century terus mencari jalannya sendiri agar segala sesuatunya terungkap. Jalan yang ditemukan adalah go international. Agar tidak ada pihak lain di dalam negeri yang dikambinghitamkan, jalan go international itu justru dibuka dan ditempuh oleh mantan pemiliknya, Hesham dan Rafat.
Bagi rakyat kebanyakan, bailout Bank Century menjadi skandal tak terlupakan. Akan selalu muncul momentum yang mengingatkan kita semua mengenai skandal ini. Sebab, ibarat sebuah film berdaya pikat sangat kuat, kisah tentang skandal ini akan selalu ada dalam ingatan rakyat karena 'dibintangi' figur-figur yang sangat terkenal karena jabatan publik dan juga karena kekuasaannya.
Bagi pasangan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, apa yang dilakukan Hesham-Rafat jelas merugikan citra pemerintahaan mereka di mata internasional. Dua investor di sektor finansial itu menggugat kebijakan bailout terhadap bank milik mereka, kasus yang rasa-rasanya sangat jarang terjadi.
Dapat dibayangkan, di dalam negeri pemerintah akan menghadapi risiko politik yang tidak kecil. Jika Arbitrase Internasional memenangkan Hesham-Rafat, pemerintah harus membayar triliunan rupiah. Dan itu berarti, total bailout Bank Century tidak lagi Rp 6,7 triliun. Jumlah itu akan membengkak. Faktor ini tentu akan menimbulkan kegaduhan baru.
Dan, DPR tentu tidak akan tinggal diam menghadapi kenyataan itu. Terlebih lagi, kemungkinannya menjadi semakin kuat bagi DPR untuk menggulirkan Hak Menyatakan Pendapat (HMP).
Saya memahami jika gugatan abitrasi itu membuat meriang pihak istana. Sebab, jika benar Keputusan atau vonis Pengadilan Arbitrase Internasional memenangkan gugatan Hesham Al Waraq dan Rafat Ali Rizvi dalam kasus Bank Century di Indonesia, otomatis menjadi tambahan bukti tentang penyalahgunaan wewenang untuk memaksakan bailout Century. Kemenangan Hesham dan Rafat itu mengonfirmasi ada pihak yang menggelapkan dana bailout itu.
Keputusan pengadilan Arbitrase Internasional itu akan mewajibkan pemerintah RI membayar triliunan rupiah kapada Hesham dan Rafat. Dengan begitu, Bailout Bank Century akan membengkak lebih dari Rp 6,7 triliun.
Kemenangan Hesham dan Rafat itu juga secara tidak langsung memaksa penegak hukum Indonesia mengkaji lagi urgensi kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia menalangi Bank Century, dan membuka lagi penyelidikan tentang aliran dana bailout itu.
Kalau kedua pemilik Century itu merasa dirugikan dengan bailout, berarti dari sisi Hesham dan Rafat, bailout itu dipaksakan. Penegak hukum perlu mempelajari motif dari bailout Century yang dipaksakan itu.
Pertanyaannya, dialirkan kemana saja dana bailout Rp 6,7 triliun yang sudah dicairkan sebelumnya. Sebab, menurut mereka kebutuhan Bank Century hanya Rp 632 miliar.
Gugatan itu berlandaskan pada pertimbangan bahwa dalam konteks investasi, Hesham dan Rafat merasa dirugikan atas kebijakan 'menyimpang' dan tidak lazim pemerintah RI dalam mem-bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun. Hingga mereka kehilangan Bank Century.
Keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional itu juga menguatkan dugaan bahwa bailout itu lebih bertujuan menunggangi masalah yang sedang dihadapi Bank Century saat itu untuk mendapatkan alasan ‘menggaruk’ uang negara Rp 6,7 triliun. Siapa saja yang menunggangi masalah Bank Century rasanya mudah dijawab banyak kalangan. Tetapi, kemana saja dana hasil tunggangan dialirkan? Mudah-mudahan kita bisa mendapatkan jawabannya.
Pemerintah rupanya tidak menyangka Hesham dan Rafat akan memasukan gugatan itu. Sehingga , tidak mengherankan jika respons pemerintah terhadap gugatan Hesham-Rafat pun sangat lamban. Seperti diketahui, Keduanya memasukan gugatan pada 15 Mei 2011. Arbitrase internasional minta wakil atau kuasa hukum pemerintah Indonesia hadir pada 17 Agustus 2011. Namun, wakil pemeritah RI tidak hadir. Belakangan, baru diketahui bahwa presiden baru menunjuk Jaksa agung pada 5 September 2011 untuk menghadapi gugatan itu.
Berbagai kalangan di Jakarta sudah mendapat informasi bahwa putusan Pengadilan arbitrase akan dikeluarkan pada Oktober mendatang, dengan atau tanpa kehadiran kuasa hukum pemerintah.
Selain faktor gugatan Hesham-Rafat, masih ada faktor lain yang akan mengemuka di ruang publik guna mengingatkan kita semua bahwa mega skandal ini belum mendapatkan penanganan sebagaimana mestinya. Masih ada faktor hasil audit forensik BPK (Badan Pemeriksa Keuangan ) dan faktor Misbakhun yang bisa tampil dengan tambahan bukti. Semua pihak tentu berharap penegak hukum termotivasi melaksanakan kewajiban mereka sebagaimana seharusnya.
Apa yang dilakukan Hesham dan Rafat merupakan pesan buruk tentang Indonesia kepada masyarakat Internasional. Artinya, dengan mengambangkan proses hukum skandal ini, Indonesia merugi karena menguatnya kesan ketidakpastian hukum.
Dengan mengambangkan proses hukum skandal Bank Century, pertanyaannya adalah sampai kapan pemerintah dan penegak hukum akan mampu bertahan. Sebab, tekanannya datang dari dua medan sekaligus, yakni gugatan Hesham-Rafat di Arbitrase Internasional, plus tekanan DPR serta publik di dalam negeri.
Artinya, esensi gugatan Hesham-Rafat sejalan atau memperkuat pernyataan Robert Tantular bahwa manajemen Bank Century tak pernah meminta Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP), apalagi bailout, baik kepada Bank Indonesia maupun Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK). Walaupun gugatan Hesham-Rafat dan pernyataan Robert Tantular belum tentu sepenuhnya benar, tetap saja mengindikasikan proses merumuskan kebijakan bailout itu berjalan tidak wajar.
Bagaimana pun, gugatan Hesham dan Rafat selain bisa menjadi tambahan bukti tentang penyalahgunaan wewenang guna memaksakan bailout sebuah bank kecil bernama Century, juga mengonfirmasi adanya pihak yang menggelapkan dana bailout itu.
Anggota Komisi III DPR RI dan Tim Pengawas skandal Bank Century*