Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Kepemimpinan Kuat adalah Kata Kunci

Amien Rais bilang, ada lima masalah utama Indonesia di tahun 2011: Population Explosion (Ledakan Jumlah Penduduk Dunia),

Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Kepemimpinan Kuat adalah Kata Kunci
TRIBUNNEWS.COM/IWAN TAUNUZI
Boni Hargens 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amien Rais bilang, ada lima masalah utama Indonesia di tahun 2011: Population Explosion (Ledakan Jumlah Penduduk Dunia), Food Crisis (Krisis Pangan), Energy Crisis (Krisis Energi), Ecological Destruction (Perusakan Lingkungan), dan Crisis of Civilazation (Krisis Peradaban).

Sebelum kita komentari Amin, saya teringat apa yang dikatakan Prof. Dr. Vincent Houben, ahli Asia Tenggara dari Universitas Humboldt (Jerman), belum lama ini.

Ia katakan, Malaysia lebih tegas dari Indonesia terhadap IMF pada paruh akhir 1990-an sehingga Malaysia lebih cepat bangkit dari krisis 1997 ketimbang Indonesia. Kenapa? Dia jelaskan, pemimpin Malaysia (Mahathir ketika itu) lebih tegas dan punya ideologi ketimbang Indonesia.

Kita pasti sepakat dengan Prof Houben. Dan sampai akhri 2011 ini, masalah kita sangat multidimensional. Tentu tak ada gunanya kita menghitung jumlahnya karena tak akan menyelesaikan persoalan. Yang penting adalah memikirkan akar masalahnya, the root of all evils.

Pada ranah sosial, kita masih bermasalah dengan kebebasan sipil kelompok minoritas, kemiskinan, pengangguran, tenaga kerja tak terdidik yang diperbudak pabrik-pabrik, TKI yang diperbudak di luar negeri, dan seterusnya.

Pada ranah ekonomi, daya beli rata-rata masyarakat kita masih rendah, krisis pangan, menurunnya komoditas pertanian karena krisis dukungan dari negara, dsb.

Pada ranah hukum, kita punya segudang masalah korupsi yang tidak tuntas. Belum lagi kita bicara soal perilaku dan mental para penegak hukum kita yang tidak sejalan dengan semangat reformasi.

Berita Rekomendasi

Pada ranah politik, konflik elite terjadi begitu sering sehingga politik menjadi medan pertarungan kekuasaan semata. Koalisi politik dan manuver lain di parlemen didominasi oleh para kartel politik sehingga ketidakstabilan dan turbulensi politik selalu terjadi. Energi pemerintah dan parlemen terkuras untuk masalah elitis yang tidak bersentuhan dengan hidup rakyat.

Pada ranah keamanan, kinerja polisi dan tentara masih belum optimal. Hal itu terbukti dalam kasus penyerangan terhadap Ahmadiyah atau pembakaran rumah ibadah. Tentara belum menjadi tentara rakyat, masih menjadi „tentara penguasa“ atau „tentara pengusaha“ seperti dalam kasus Freeport atau dalam penanganan konflik Papua (OPM) secara keseluruhan.

Kita masih bisa deretkan lagi masalah lain. Tapi akar dari seluruh masalah ini adalah kepemimpinan yang tidak kuat (weak leadership). Banyak yang mengatakan bahwa bukan kepemimpinan kuat (strong leadership) yang diperlukan melainkan negara kuat (strong state).

Negara kuat seperti yang kita lihat di negara-negara Eropa Barat atau seperti Amerika Serikat tidak lahir begitu saja. Proses menjadi negara kuat harus melalui tahap kepemimpinan kuat.

Dengan kepemimpinan kuat, ada penegakan hukum, ada penghargaan terhadap hak asasi manusia, ada kepedulian konkrit terhadap kelompok rentan dalam masyarakat, ada kebijakan yang berpihak pada petani, ada kebijakan yang membela buruh atau kelas pekerja umumnya, ada kebijakan yang berpihak pada orang cacat, ada jaminan kebebasan sipil bagi minoritas, ada hukum yang kuat terhadap kelompok radikal, dan seterusnya.

Kita butuh kepemimpinan kuat. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak tahun 2004 masih lemah dalam segala aspek.

Saya percaya, ia dijepit oleh kartel politik yang barangkali tentunya telah berjasa membantu kampanye pilpres, tetapi bagaimanapun presidensialisme menuntut adanya presiden yang kuat. Kuat dalam prinsip ideologi dan kuat dalam mengambil dan menjalankan keputusan.

Kita berharap, 2012 ke depan, ada perubahan dalam konteks ini. Kalau tidak, politik kita terus menjadi tontonan yang tidak bermutu. Bukan saja peradaban demokrasi yang mundur, masyarakat juga akan sulit menahan amarah. Kekacauan sosial, anarkisme, revolusi, vandalisme, dan sebagainya lahir dalam kondisi negara rapuh yang kepemimpinannya lemah.

Bakar diri (self-immolation) Sondang belum lama ini adalah bahasa politik yang mengejutkan walaupun dalam sejarah hinduisme dan budhaisme itu adalah martyrisme yang lumrah. Di Birma, Tibet, dan tempat lain biksu membakar sbg bentuk tertinggi dari protes politik ketika bahasa lidah dan pikiran kepala tak lagi digubris oleh elite yang lalim.

Kita berharap, pemerintahan SBY ke depan lebih demokratis dalam menghadapi segala bentuk kritik dan realistis dalam mengambil keputusan karena masalah kita sangat real dan rumit.

Salam hangat.

Boni Hargens
Pengamat politik Universitas Indonesia, sedang belajar di Universitas Humboldt, Jerman.
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas