Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Drama Panjang Keputusan KPU
Jumlah 10 parpol yang lolos memang sudah seperti sinyal yang disebarkan selama ini.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Rachmat Hidayat
Direktur LIMA, Ray Rangkuti
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Dalam rapat pleno terbuka yan panas, akhirnya KPU telah menetapkan parpol peserta pemilu 2014 yang akan datang hanya diikuti oleh 10 parpol. 24 parpol lain dinyatakan tidak lolos karena berbagai alasan.
Beberapa catatan perlu disampaikan.
Jumlah 10 parpol yang lolos memang sudah seperti sinyal yang disebarkan selama ini. Jauh hari sebelum rapat pleno terbuka ini dilaksanakan, telah berkembang isu yang menyatakan bahwa jumlah parpol yang akan lolos tidak akan lebih dari 10 parpol.
Isu itu juga memposisikan bahwa parpol-parpol baru akan kesulitan memenuhi ketentuan Undang-undang. Utamanya soal KTA, status kantor dan komposisi kepengurusan yang dinyatakan tidak dapat dipenuhi oleh parpol-parpol baru. Pengembangan isu ini sekaligus membuat dua hal terbangun :
Parpol-parpol baru memang tidak becus. Sehingga semua keberatan dan perlakuan diskriminatif terhadap mereka diabaikan bahkan dituduh sebagai mengada-ada. 2. Hal ini juga menimbulkan sikap kritis terhadap parpol-parpol lain berkurang. Tak ada pertanyaan kritis apakah kinerja verifikasi KPU atas parpol-parpol lain dijalankan dengan sebenar-benarnya tanpa upaya untuk mempermudah.
Suasana itulah kiranya yang juga terbawa dan terbangun dalam rapat pleno terbuka kemarin. Ketua-ketua parpol lama tak menghadiri rapat pleno terbuka penting itu. Seolah telah memiliki keyakinan bahwa parpol mereka akan lolos dan tinggal menunggu pengumuman KPU. Tak perlu ada yang dikhawatirkan. Rapat pleno terbuka itu hanya hajatan parpol baru untuk bersitegang dengan KPU. Dan memang seperti itulah kenyataannya.
Sebagai bukti kesungguhan berparpol dan menghormati tahapan penting pemilu, sejatinya kegiatan seperti ini tetap dihadiri oleh ketua-ketua parpol.
Seperti sudah diduga juga bahwa di dalam rapat pleno terbuka ini, berbagai protes parpol baru atas proses verifikasi faktual yang mereka alami tidak akan banyak membantu mereka untuk mendapatkan keadilan.
Alih-alih protes itu disikapi sebagai upaya membongkar kemungkinan terjadinya berbagai praktek curang yang lazim terjadi dalam verifikasi parpol kita, yang terjadi malah pemosisian parpol-parpol tersebut sebagai tidak etis, tidak mengerti aturan (kenyataannya juknis rapat pleno terbuka nasional tidak dibuat oleh KPU dan mestinya dibagikan kepada semua peserta rapat jauh sebelum rapat dilaksanakan.
Jadi mengherankan jika KPU merasa risi dengan interupsi dari sidang yang memang tidak ada juknisnya) dan lagi-lagi disebut hendak memaksakan kehendak (padahal DKPP sudah membuat keputusan yang menyatakan bahwa kinerja KPU dalam verfikasi administratif berjalan buruk). Stigma berulang yang selalu dibangun sejak puluhan tahun yang lalu bagi parpol-parpol baru yang memperjuangkan keadilan bagi mereka. Protes diabaikan,palu diketukan.
Dan pernyataan lama diputar bagi yang tidak puas silahkan melaporkan ke Bawaslu atau bawa ke PTUN. Tak ada semangat membongkar, mempertanyakan, menguji keabsahan proses verifikasi. Rapat pleno terbuka sekedar pemanis untuk memperlihatkan bahwa seolah semuanya berjalan demokratis.
Akhirnya, berbagai kelemahan dalam proses verifikasi faktual yang biasa terjadi selama ini tetap saja tak dapat dipecahkan. Dia diendapkan untuk kemudian akan terulang pada pemilu yang akan datang. Sebut saja soal keabsahan KTA dan kantor semua parpol, adanya dugaan politik uang, perlakuan diskriminatif dalam proses dan kebijakan, kesungguhan pelaksanaan di lapangan, persoalan administrasi dan perlakuan yang tumpang tindih, dan sebagainya. KPU yang sekarang belum memiliki kreasi yang lebih brilian untuk membuat kwalitas pemilu kita lebih baik.
Mentalitas dan cara pandang tetap sama; KPU benar yang lainlah yang berulah. Cara pandang itu membuat keinginan-keinginan untuk membuat terobosan-terobosan agar kisruh dan carut-marut pelaksanaan pemilu kita tidak berulang tiap hendak pemilu dilaksanakan menjadi mandeg. Sejauh ini, baik KPU maupun Bawaslu bekerja standar.
Tak ada terobosan perubahan agar kwalitas pemilu kita lebih baik. Bahkan kesan yang muncul adalah KPU dan Bawaslu mulai berdamai. Gigi tajam yang pernah diperlihatkan Bawaslu di awal tahapan, pada tahapan ini seolah rontok. Jika semua tahapan dapat berjalan dengan baik tentu Bawaslu juga tak diperlukan.
Sekalipun diumbar agar parpol-parpol yang tidak lolos dapat menerima putusan KPU ini secara legowo, LIMA Indonesia tetap mendorong agar mereka terus mencari keadilan. Legowo bukan berarti membiarkan tindakan kecurangan terjadi dan kemudian dilupakan begitu saja.
Melaporkan berbagai kecurangan yang mereka terima, perlakuan diskriminatif atau bahkan sekeder memberi info kemungkinan parpol yang sejatinya tidak lolos tapi diloloskan oleh KPU (seperti adanya dugaan kantor parpol yang mempergunakan aset negara). Ini juga tindakan kontributif bagi upaya pelaksanaan pemilu yang jurdil. Seberapapun kecilnya perlakuan yang tidak sesuai dengan peraturan itu, sejatinya harus dibongkar dan diselesaikan.
Jangan dibiarkan berlalu. Sebab sikap seperti ini akhirnya hanya menjadi duri dalam pelaksanaan pemilu kita. Lalu penyakit yang sama kembali berulang. Sekalipun terlihat hubungan damai KPU-Bawaslu, langkah mengadukan pelanggaran-pelangga ran dan bahkan sengketa itu tetap diajukan via pintu Bawaslu. Upaya sengketa ke PTUN juga layak ditempuh.
Saat bersamaan mereka juga sebaiknya melaporkan penyelenggara pemilu yang melakukan tindakan tidak jujur dan adil ke DKPP. Jangan dibiarkan pelanggaran mengendap. Bukan soal lolos atau tidak. Tapi soal memastikan bahwa tahapan pelaksanaan pemilu kita dilakukan dengan baik dan benar.