Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tepatkah Presiden SBY Menerima Penghargaan ACF?
karena masih ada persoalan di dalam negeri yang terkait dengan agama yang harus diselesaikan.
Oleh: Toni Ervianto, Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN). Alumnus pasca sarjana Kajian
Strategik Intelijen, Universitas Indonesia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana The Appeal of Conscience Foundation (ACF) memberikan penghargaan “World Statesman” kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir Mei 2013 di New York, Amerika Serikat sepertinya mendapatkan resistensi dari para penggiat HAM dan masalah toleransi di Indonesia, walaupun mereka kurang mengerti indikator penilaian yang dilakukan oleh ACF sebuah lembaga yang didirikan Rabbi Arthur Scheneier pada 1965 yang memperjuangkan atau mempromosikan kebebasan beragama dan HAM.
Rumadi Ahmad, salah seorang Dosen di UIN Syarif Hidayatullah yang juga peneliti senior the Wahid Institute dalam artikelnya mengimbau agar SBY tidak mau menerima penghargaan tersebut, karena masih ada persoalan di dalam negeri yang terkait dengan agama yang harus diselesaikan.
Bahkan, Rumadi Ahmad menyatakan menerima penghargaan hanya akan menyakiti warga negaranya sendiri, terutama kelompok-kelompok yang selama ini sudah menjadi korban dari tindakan intoleransi dan kekerasan agama.
Rumadi Ahmad juga menulis alasan kemungkinan ACF memberikan penghargaan ke SBY antara lain, sebagai keberhasilan pencitraan diplomasi luar negeri Indonesia untuk menyakinkan ACF bahwa Presiden SBY memang kepala negara yang berhasil melindungi kebebasan beragama dan HAM.
Dengan penghargaan ini, SBY akan mendapatkan keuntungan ganda. Di satu sisi Presiden SBY ingin memperbaiki citranya di forum internasional yang terus disoal tentang kekerasan terhadap minoritas dan intoleransi, disisi lain ambisi dia untuk berkiprah di dunia internasional setelah selesai masa jabatannya sebagai presiden pada 2014 bisa kembali terbuka.
Sementara itu, banyak yang menilai bahwa penghargaan tersebut tidak layak diberikan kepada SBY, melainkan kepada mantan Presiden Gus Dur yang semasa hidupnya dengan gigih memperjuangkan penghapusan intoleransi dan kekerasan.
Oleh karena itu, mereka menilai bahwa makna dibalik penghargaan tersebut adalah merupakan hutang atau semacam fait accompli supaya SBY berbuat seperti itu yaitu memberantas kekerasan dan intoleransi.
Pemberian penghargaan semacam itu tidak ada yang gratis, sehingga Presiden SBY harus hati-hati dan perlu lembaga yang mempunyai otoritas memberikan telaahan atau hasil analisis kepada SBY tentang perlu tidaknya menerima penghargaan tersebut.
Pemberian penghargaan selalu mempunyai muatan politis tertentu, bahkan termasuk lembaga yang memberikan penghargaan seperti Nobel Perdamaian pun juga “tidak bebas nilai” dalam memberikan reward, buktinya Barrack Obama waktu baru pertama kali menjadi Presiden AS sudah mendapatkan Nobel Perdamaian , padahal sejatinya belum memberikan kontribusi apapun bagi perdamaian secara ‘signifikan”.
Oleh karena itu, ada “pesan tersembunyi” dibalik pemberian Nobel Perdamaian kepada Obama tersebut, yaitu agar Obama dapat memberikan kontribusi serta memberikan Obama leverage bagi lawan-lawan politiknya di Partai Republik, sehingga mereka menjadi segan, karena Obama sudah diakui oleh dunia.
Bahkan ada yang menilai mereka yang menolak rencana ACF memberikan penghargaan kepada SBY, sebagian dari kelompok tersebut masuk kategori kelompok realis yang lebih cenderung ke humanis dan sebagian hanya sebagai penggembira menyuarakan penolakan tersebut atau isu-isu sensitif lainnya menurut kepentingan masing-masing yang sudah tertulis dalam AD/ART beberapa kelompok tersebut.
Menurut mantan ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, memiliki tingkat toleransi beragama yang tinggi dan belum ada negara Muslim manapun yang setoleran Indonesia.
Bahkan, Indonesia juga memiliki toleransi beragama yang lebih baik dibanding sejumlah negara di Eropa, karena masih ada beberapa negara Eropa yang mempunyai kebijakan politik yang sebenarnya “melecehkan” atau kurang mencerminkan adanya kehidupan beragama yang sehat di negara tersebut, seperti misalnya tidak memperbolehkan pendirian menara masjid yang ditegaskan melalui undang-undang negara tersebut, masih mempersoalkan jilbab, adanya UU Perkawinan Sejenis, serta di beberapa negara Eropa lainnya, seluruh agama harus dipisahkan, sehingga tidak boleh Undang-undang diganggu dengan alasan agama.