Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Langgar Kesepakatan BAST Tanah BMW, Agung Podomoro `Tantang' Pemprov DKI
Pengembang Agung Podomoro memposisikan diri 'menantang' Pemprov Jakarta terkait pelanggaran Berita Acara Serah Terima (BAST) lahan proyek Taman BMW.
Editor: Agung Budi Santoso
Oleh: Lukman Azis Kurniawan
Dugaan korupsi di Pemprov DKI Jakarta sudah lama mencuat. Acara "Metro Realitas" di layar Metro TV setahun yang lalu pernah mengangkat dugaan korupsi Bantuan Sosial (Bansos), Fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos dan fasum) di Pemprov DKI Jakarta menjadi topik yang hangat.
Terutama Bansos atau dana hibah dari APBD yang digelontorkan trilyunan rupiah menjelang Pilkada 2012. Bahkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menemukan 46,7 % indikasi transaksi yang mencurigakan. Dengan data itu menempatkan Pemprov DKI Jakarta pada posisi sebagai provinsi terkorup (http://www.tribunnews.com/nasional/2012/10/01/ini-dia-peringkat-provinsi-terkorup-di-indones ia).
Namun, hingga kini sepertinya data tersebut tak cukup kuat untuk mengungkap siapa saja oknum yang melakukan perampokan uang negara hingga ratusan miliar rupiah tersebut.
Padahal selama ini lembaga pemberantasan korupsi (KPK) dikenal sangar terhadap korupsi-korupsi baik di level pusat maupun daerah di seluruh Indonesia. Namun kenyataannya justru korupsi yang berada di Jakarta, di ibukota Negara dimana gedung KPK megah berdiri seolah tak dapat diendus oleh KPK.
Sekitar bulan Oktober 2013, media sempat menulis bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menemukan transaksi penggunaan APBD TA 2012 yang mencurigakan, dengan nilai trilyunan rupiah.
Apabila temuan ini benar dan bisa diungkap, maka sinyalemen terjadinya korupsi setahun yang lalu tentu menjadi kenyataan. Kasus korupsi Fasos Fasum juga sudah dilontarkan Prijanto dalam Metro Realitas tahun 2012 yang lalu, diantaranya adalah tanah taman BMW.
Kedatangan AM Fatwa dan Prijanto di KPK tanggal 7 November 2013 untuk menambahkan bukti-bukti baru atas tanah taman BMW yang sempat dilaporkan setahun sebelumnya memperlihatkan adanya ketidak beresan dalam proses penyerahan lahan yang bakal digunakan sebagai stadion olahraga bertaraf internasional tersebut. Aroma korupsi dan kolusi begitu terasa baunya.
Bila mencermati apa yang diungkapkan mantan Wakil Gubernur DKI Prijanto, sesungguhnya meledaknya kasus-kasus korupsi di DKI Jakarta tinggal menunggu waktu. Apalagi menurut Prijanto, Gubernur Jokowi pada akhir Agustus 2013 KPK sudah mendatangi Pemprov DKI untuk melakukan pengumpulan bukti. Artinya hal itu tinggal menunggu waktu.
Masalah Taman BMW
Menyikapi masalah Taman BMW (Bersih, Manusiawi dan Wibawa) setidaknya ada tiga persoalan hukum di dalamnya.
Pertama, masuk ranah hukum pidana, yaitu antara pengembang versus ahli waris dengan obyek dokumen tanah atau surat tanah yang dipalsukan.
kedua, masuk ranah hukum perdata, antara pengembang versus ahli waris dengan obyek tanah BMW yang tidak diganti rugi melainkan dilakukan penyerobotan oleh pengembang.
Dan persoalan hukum ketiga adalah, masuk ranah tindak pidana korupsi, dengan subyek penyelenggara negara dengan pengembang, dengan obyek Berita Acara Serah Terima (BAST) dengan Surat Pelepasan Hak (SPH) dan daftar asset.
Ketika kita bicara dugaan korupsi tanah BMW, lalu wakil Gubernur DKI Basuki T Purnama (Ahok) mengatakan: secara hukum sudah selesai dan yang mengaku ahli waris juga sudah dihukum 1 tahun dengan dugaan pemalsuan dokumen tanah (http://ahok.org/berita/news/jawaban-btp-soal-sengketa-taman-bmw/) sesungguhnya merupakan sebuah bentuk `cuci tangan' atas lahan yang sudah diaku asset oleh pemprov DKI sendiri.
Pernyataan tersebut sangat tendensius dan seperti melindungi koruptor. Seharusnya yang dilakukan pemprov DKI baik Gubernur atau Wagub mencoba mengkaji kembali dokumen-dokumen keabsahan tanah tersebut. Cari kesalahan dan kejanggalannya, bukan menyerahkan penyelesaiannya kepada pengembang dan ahli waris saja.
Sesungguhnya apa yang dilontarkan Ahok dapat mengalihkan persoalan atau isu, dari kasus korupsi dan kolusi antara pengembang dan pejabat Pemprov DKI menjadi semata-mata kasus perdata antara pengembang dan ahli waris.
Sejumlah catatan yang berhasil dihimpun dan diamati setidaknya ada 6 indikasi yang mengarah dugaan terjadinya kerugian negara antara lain :
1. Di dalam BAST, berjudul ` Tanah yang terletak di Jalan Rumah Sakit Koja Kelurahan Papanggo dan Sunter Agung,...' Artinya, inilah alamat tanah yang diserah terimakan.
2. Di dalam BAST, pasal 1, tanah yang diserahkan di Jalan Rumah Sakit Koja, Kelurahan Papanggo dan Sunter Agung, luas 265.335,99 m2 dengan nilai aset 737.395.249.809,00 Rupiah (tahun 2007).
3. Di dalam BAST, pasal 2, tanah yang diserahkan sebagai kewajiban dari 7 pengembang, diantaranya ada PT Astra International Tbk dan PT Subur Brother, yang diwakili PT Agung Podomoro.
4. Di dalam BAST, pasal 3, tertulis `....dalam keadaan baik sesuai standar yang ditetapkan, tidak sengketa,....dst'.
5. Di dalam BAST, pasal 4 (2) tertulis ` PIHAK PERTAMA berkewajiban menyelesaikan sertifikat tanah..dst'. Catatan : Pihak Pertama adalah Trihatma Kusuma Haliman, Direktur I PT Agung Podomoro.
6. Di dalam BAST, pasal 6, dijelaskan penyerahan disertai surat-surat dokumen. Catatan : BAST dilampiri 5 Surat Pelepasan Hak (SPH).
Analisis dari data di atas :
1. Sesungguhnya dimana letak tanah yang diserahkan ? Apakah tidak salah alamat bila terus mengklaim tanah BMW ? Sebab, tanah BMW di Jalan RE Martadinata Kelurahan Papanggo, bukan di jalan RS Koja Kelurahan Sunter Agung dan Papanggo.
2. Tanah yang diserahkan 265.335,99 m2, tetapi 5 SPH jika dijumlah hanya 122.228 m2. Kebenaran 5 SPH ini pun perlu diuji. Ternyata 4 SPH di Kelurahan Sunter Agung dan dilegalisir Lurah Sunter Agung. Padahal tanah BMW di Kelurahan Papanggo. Satu SPH di Kelurahan Papanggo, tetapi dalam pernyataannya secara terbuka disangkal pihak keluarga. Keluarga menyatakan bahwa almarhum bapaknya tidak punya tanah, bukan Dirut PT Sinar Air Mas sebagaimana disebutkan dalam SPH dan tanda tangan dalam SPH tersebut diakui anak almarhum bukan tanda tangan orangtuanya.
3. Kejanggalan lain dari SPH, disebut sebagai kewajiban dari 7 pengembang, tetapi semua SPH cuma diserahkan kepada PT Indofica Housing.
4. Kejanggalan lain (1) kesaksian PT Astra International Tbk dan PT Subur Brother yang namanya dimasukkan dalam BAST, ternyata dalam persidangan perdata antara pengembang PT Agung Podomoro versus ahli waris, keduanya menyangkal dan meminta dikeluarkan dari daftar tergugat berarti dapat diartikan adanya pencatutan nama kedua perusahaan tersebut.
Mereka menyatakan kewajibannya kepada Pemprov DKI sudah diselesaikan sendiri tidak melalui tangan bos PT Agung Podomoro tersebut (2) pengembang menyerahkan tanah sengketa yang dinyatakan dalam BAST tanah tak bermasalah (3) pengembang tidak bersedia mensertifikatkan sesuai ketentuan, justru melemparkan tanggungjawab penyelesaian sertifikat kepada pemprov DKI.
Agung Podomoro "Menantang" Pemprov DKI Jakarta
Membaca majalah Gatra edisi 21 November 2013, disebutkan oleh kuasa hukum PT Agung Podomoro, Muliadi sudah berani menyalahkan Pemprov DKI dan cuci tangan terkait sertifikasi.
Dikatakannya masalah hukum sudah selesai. Padahal, baik pidana umum maupun perdata, ahli waris masih memiliki hak untuk PK (Peninjauan Kembali) di Mahkamah Agung. Sedangkan pidana korupsi, belum dimulai. Artinya, masalah hukum belum selesai.
Muliadi juga terkesan tanpa persiapan matang untuk menjawab pertanyaan wartawan Gatra. Dalam pernyataannya penyebutan dalam BAST ` Jalan RS Koja dengan alasan nama itu yang dikenal di masyarakat sekitar, bukan berdasarkan data otentik nama jalan sesungguhnya (padahal BAST adalah dokumen yang memiliki kekuatan hukum).
Sedangkan hasil penelusuran yang dilakukan, jalan RS Koja sesungguhnya tak pernah ada di Jakarta dan lokasi taman BMW sendiri berjarak lebih dari 6 km dari RS Koja. Dari situ saja terlihat sudah kejanggalan dari BAST tersebut.
Selain itu disadari atau tidak oleh Muliadi 12 hektar dalam SPH itu juga sudah bermasalah. Sehingga ia hanya menjawab pertanyaan Gatra kekurangan 14 hektar diperoleh melalui konsinyasi di PN Jakut.
Kalimat ini sulit dicerna dan menambah deretan kejanggalan. Bagaimana mungkin menyerahkan kewajiban melalui konsinyasi? Tanah siapa yang dikonsinyasi? Bukankah tanah yang diserahkan harus `clear and clean'? Keterangan Muliadi tersebut perlu dikorek KPK lebih dalam.
Mengapa kita nilai pengembang menantang Pemprov DKI Jakarta? Muliadi sudah berani menyalahkan Pemprov DKI Jakarta, bahwa setelah PT Agung Podomoro menyerahkan SPH aslinya, maka urusan sertifikasi adalah urusan Pemprov. Seharusnya Pemprov DKI sudah sertifikatkan tahun 2003, karena sudah punya `hak pakai'. Lho, kapan SPH diserahkan? PT Agung Podomoro sudah berani mengingkari pasal 4 (2) dalam BAST yang ia tandatangani bahwa sertifikasi tanggung jawab pengembang.
Mengapa PT Agung Podomoro berani mengingkari? Muncul pertanyaan, apakah ada komitmen `terselubung' ketika ditanda tangani BAST yang saat itu menjelang Pilkada DKI 2007? Tentu kita yang bukan penyidik tidak bisa menjawab. Hanya penyidik KPK yang bisa mengurai kasus tanah taman BMW. Semoga, menjadi prioritas bagi KPK.
Penulis: Lukman Azis Kurniawan, Peneliti pada Jakarta Monitoring Community