Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tawaran Solusi Polemik RUU Pilkada
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada tengah dibahas antara pemerintah dan DPR
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh Ketua Umum Laskar Dewaruci, Mochtar Mohamad
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada tengah dibahas antara pemerintah dan DPR. RUU ini menyita perhatian rakyat Indonesia karena ada pasal krusial yang berkaitan langsung dengan hak politik mereka.
Yang paling menyita perhatian, yakni soal mekanisme pilkada langsung dan pilkada oleh DPRD.
Ada dua kubu utama dalam RUU ini. Yaitu, fraksi pendukung Pilkada langsung dan Pilkada oleh DPRD. Masa depan demokrasi akan ditentukan pada esok hari, Kamis, tanggal 25 September 2014.
Mencermati pembahasan RUU Pilkada tersebut, terlihat kesan bahwa DPR RI dan Pemerintah terjebak pada situasi politik PascaPilpres.
Ini bisa terlihat dari sikap pemerintah sebagai pengusul RUU Pilkada yang memperbaiki usulannya dengan memasukan 10 poin lebih, terkait pada perbaikan tata cara pelaksanaan Pilkada langsung.
Di sisi lain, isu RUU Pilkada tersebut digulirkan karena kepentingan politik sesaat PascaPilpres sebagai ajang uji soliditas Koalisi Merah Putih, tanpa mendengarkan aspirasi yang berkembang di masyarakat, termasuk dari kelompok Asosiasi Kepala Daerah dan elemen lainnya.
Prinsip Demokrasi, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat akan diuji esok bari pada sidang Paripurna. Apakah DPR masih memakai prinsip demokrasi tadi, atau hanya atas dasar kepentingan politik kelompok sesaat?
Seharusnya pemerintah sebelum mengajukan RUU Pilkada tersebut harus melakukan uji publik terlebih dahulu, baik melalui seminar, diskusi atau riset survei untuk mengidentifikasi keinginan rakyat, baru kemudian dirumuskan.
DPR juga punya kewenangan untuk melakukan uji publik agar produk perundang-undangan tidak bertentangan dengan keinginan rakyat yang diwakilinya.
Sebagai seorang kepala daerah yang pernah mengalami dua model pemilihan, yaitu dipilih oleh DPRD dan dipilih langsung oleh rakyat, saya menyarankan beberapa hal sebagai berikut ;
Pertama, Dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat hanya untuk kepala daerahnya saja, sedangkan wakilnya dipilih oleh kepala daerah terpilih dan diusulkan kepada DPRD untuk ditetapkan.
Hal ini dilakukan untuk meminimalisir terjadinya konflik kepentingan antara kepala daerah dan wakilnya yang kerap kali terjadi dan berimbas pada terganggunya pelayanan publik.
Catatan Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, Pilkada langsung menyebabkan hubungan kepala daerah dan wakilnya tak harmonis. Sebanyak 94 persen kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi sebelum berakhirnya periode menjabat.
Kedua, Untuk penghematan biaya pelaksanaan Pilkada, maka sebaiknya dilaksanakan serentak (Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati).
Diperkirakan biaya Pilkada untuk kabupaten/kota Rp 25 miliar, untuk Pilkada provinsi Rp 100 miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun. Kalau dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp 10 triliun.
Ketiga, sumber pembiayaan Pilkada langsung secara serentak ditanggung oleh APBN, sehingga tidak menganggu keuangan daerah.
Sebab bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan.
Ketiga hal diatas setidaknya bisa menjadi solusi alternatif untuk mengakhiri polemik Pilkada. Sekaligus memberikan jaminan bagi masa depan demokrasi kita ke arah yang lebih baik.
Polemik RUU Pilkada tersebut menjadi sinyal kuat bahwa bangsa ini sedang menuju fase krisis konstitusi. Hal ini harus kita sikapi secara serius.
Carut marut konstitusi ini tidak lepas dari pengaruh Law Imprealisme yang tidak kita sadari sudah berlangsung selama lebih dari 1 dasawarsa Reformasi.
Seharusnya kita kembali ke pemikiran-pemikiran Bung Karno dalam berbangsa dan bernegara agar konstitusi berdiri kokoh.
Semoga Pemerintahan Jokowi-JK ke depan mampu meluruskan cita-cita Prokalmasi 17 Agustus 1945 dengan fIlosofi Trisakti Bung Karno 1963.