Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Prestasi Kaum Neolib
Parlemen dikuasai Koalisi Merah Putih yang nota bene di bawah pengaruh Prabowo Soebianto, anak Soemitro Djojohadikusumo.
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh Ichsanuddin Noorsy
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jelang terbentuknya Kabinet di bawah kepemimpinan JW-JK, sejumlah kalangan risau karena Parlemen dikuasai Koalisi Merah Putih yang nota bene di bawah pengaruh Prabowo Soebianto, anak Soemitro Djojohadikusumo.
Saya merespon bahwa kerisauan itu tidak perlu terjadi sepanjang JW-JK konsisten dengan visi misinya, yang lebih dikenal dengan Trisakti.
Tapi kebanyakan orang lalai, Trisakti sebenarnya telah berganti dengan Nawacita, sembilan cita-cita JW-JK. Untungnya di dalam Nawacita itu masih terdapat kata kemandirian ekonomi walau dipersempit dengan kata-kata, menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Kerisauan akan konsistensi pada kata-kata Trisakti mulai muncul sejak gagas mengurangi subsidi BBM mengemuka.
Tanpa kejelasan berapa biaya pokok produksi pada kilang sendiri dan berapa biaya pokok impor, banyak kalangan setuju dengan pengurangan subsidi dan hasil pengurangan itu dialihkan ke sektor produktif. Mereka yang setuju nyaris tidak pernah menggugat kenapa subsidi
BBM di APBN meningkat bersamaan dengan posisi PT Pertamina masuk dalam 500 perusahaan yang mempunyai kinerja keuangan yang baik menurut majalah Forbes.
Kenapa APBN terseok-seok soal belanja” BBM, sebaliknya PT Pertamina malah masuk dalam perusahaan yang kinclong.
Ekonom-ekonom bernama besar di negeri ini pun lebih sibuk bicara defisit transaksi berjalan karena tekanan impor Migas. Karena defisit ini juga menekan defisit perdagangan, maka orang mengambil jalan pintas: konversikan beban APBN ke masyarakat dengan cara mengurangi subsidi.
Bersamaan dengan menguatnya kegaduhan politik karena keberhasilan memilih sistem politik liberal, isu subsidi menyurut. Orang mendapat petanda, November 2014 nanti harga Premium RON 88 akan menjadi Rp9.500 perliter karena subsidi dikurangi Rp3.000.
Sekali lagi, mereka tidak menjelaskan berapa sebenarnya subsidi Premium RON 88 perliter. Lalu masyarakat terdiam. Media massa beralih isu ke pertarungan Parlemen. “Markas besar Lenteng Agung” yang awalnya tidak nyaman dengan
pengurangan subsidi ini pun disibukkan dengan perebutan kursi di Parlemen.
Beriring dengan masalah itu, rekrutmen posisi Menteri dan Lembaga Pemerintah terus berjalan. Alokasi 34 kursi Menteri dan 3 kursi Menko pun bergeser menjadi 33 kursi Menteri dan 4 kursi Menko hanya karena tidak mau sama dengan postur Kabinet SBY.
Bersamaan dengan rekrutmen itulah nama-nama menteri dari kalangan neoliberal mencuat. Sebutlah Sri Mulyani, atau yang lainnya dan mereka yang beraroma kelompok PSI pun menjadi pembicaraan dan pemberitaan media massa.
Lagi-lagi kerisauan mengiringi kemunculan nama-nama itu. Kalangan wartawan menyampaikan pendapatnya, bagaimana mungkin mereka yang tidak berkeringat justru memperoleh kursi. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena kebanyakan kaum neolib menjadi perpanjangan tangan atau memberi akses kalangan asing, aseng, dan pengasong kepentingan tertentu ke pemegang kekuasaan.
Itu bukti mereka berjasa. SBY saja tidak peduli dan tetap menjadikan Chatib Basri sebagai Kepala BKPM dan lalu menjadi Menkeu walau sudah diinfokan Kwik Kian Gie dan Sri-Edi Swasono bahwa yang bersangkutan gagah menyatakan, kantongi nasionalisme. Lalu kenapa banyak kalangan nasionalis begitu risau dengan kelompok neolib ini ?
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.