Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Revolusi Mental Butuh "Fikir Pedas"
Kekeliruan dalam membaca perubahan dalam inovasi bisa menjadi bencana.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Dody Susanto
Direktur Klinik Pancasila
Keinginan kuat untuk mensyukuri nikmat kemerdekaan adalah tumbuhnya penghormatan pada keberhasilan dunia pendidikan membentuk sumber daya manusia (SDM) yang tercerahkan.
Kerja bersama semua komponen bangsa dalam memperkuat akar tunjang dan akar serabut pohon pendidikan di tanah air, salah satu diantaranya adalah mendorong kelas manusia pembeda di semua sektor dengan nalar, inovasi, dan kreasi untuk mendorong nilai tambah.
Sebagai bangsa yang kuat, kita harus mengakhiri negara pengekspor bahan mentah menjadi negara berorientasi nilai tambah.
Norma internasional mengatakan, terbentuknya 2% populasi penduduk sebuah bangsa yang berkarakter wirausaha adalah ciri dan pertanda kelas bangsa tersebut sebagai bangsa berdaya saing tinggi.
Dalam periode menyongsong masyarakat tunggal ASEAN 15 Desember 2015, bangsa Indonesia harus mempersiapkan rencana aksi nasional yang memberikan kesempatan semua anak bangsa untuk mendorong peningkatan indeks industri kreatif, ekonomi kreatif, pertanian kreatif, maritim kreatif, budaya kreatif, termasuk metode pendidikan dan pembelajaran yang inovatif dan kreatif dalam satu kebersamaan multi sektoral.
Satu tahun ke depan, perlu ditumbuhkan gerakan nasional “Fikir Pedas” (Fokus inovasi kreasi integrasi rasional-produktivitas etos kerja daya saing).
Kita sadari bersama, revolusi mental adalah suatu ikhtiar untuk membentuk pola fikir, pola sikap, dan pola tindak yang berorientasi pada nilai-nilai puncak peradaban.
Bagi bangsa Indonesia identifikasi mental gripis (Gurem (mental kuli), Ruwet (tidak fokus), Indisipliner (kurang disiplin), Pencemburu (rentan konflik), Intoleran (kurang toleransi), sesat (ideologi, aliran), cukup memberi tekanan dan hambatan tumbuh kembangnya kebugaran mental manusia Indonesia yang merupakan salah satu sarat munculnya berbanyak-banyak manusia pembeda yang bernalar dan berkarakter inovatif.
Terlebih dampak dan implikasi teknolagi informasi minus edukasi juga turut menyumbangkan sisi suram dan buram dari manusia pengguna IT yang minus budi pekerti, tidak taat dan sadar hukum yang disebabkan produsen IT yang kurang bertanggung jawab pada sisi pencerahan penggunaan produk.
Sehingga citizen tidak jarang menerima konsekwensi yang tidak diinginkan ( unintended consequences) akibat kecerobohan maupun ketidaktahuan aturan hukum.
Dibalik kecanggihan sebuah teknologi, memang diperlukan kecanggihan dan kecerdasan si penggunanya untuk memanfaatkan. Tanpa sinergi keduanya, teknologi hanyalah mesin yang tidak memiliki perasaan, sementara penggunanya adalah manusia dengan dimensi yang sangat kompleks.
Rujukan The Economist tentang “Pardon the Disruption”, membahas bagaimana sebuah inovasi yang kadang bisa berakibat pada kekacauan (disruption) yang oleh ekonom Joseph Schumpeter disebut sebagai “disruptive innovation”.
Fenomena ini menggejala dimana-mana, misalnya facebook dan Twitter yang dapat mengacaukan komunikasi antar manusia. “ Cronuts” (croissant dan donut) yang katanya mengacaukan pola sarapan masyarakat di Negara-negara barat. Contoh yang paling nyata, bagaiman youtube dapat mengubah kehidupan Norman Kamaru dalam dimensi yang sangat kontras.
Inovasi memang bagaimana memiliki dua sisi yang berbeda. Use it wisely maka manfaatnya akan kita raih, Sebaliknya “unwise use” atau “abusive use” akan menimbulkan disruptive innovation.
Kekeliruan dalam membaca perubahan dalam inovasi bisa menjadi bencana. Matt Marx dan kawan-kawan merekomendasikan “kerjasama” atau mereka sebut “cooperative commercialization” yang esensialnya adalah silahkan gunakan inovasi baru namun jangan lupakan cara-cara yang lama yang bisa saja lebih superior.
Saripati yang layak dianjungkan, silahkan berkomunikasi dengan teknologi, namun penting juga pertemuan fisik antar manusia adalah cermin manusia yang memiliki kebugaran mental.
Pesan berantainya, jati diri kitalah yang akan mengubah disruptive innovation menjadi constructive innovation. Salah satu upaya penerjemahan revolusi mental adalah geraran nasional menumbuhkembangkan jati diri bangsa melalui penguatan kemampuan “Fikir Pedas” (Fokus inovasi kreasi integrasi rasional-produktivitas etos kerja daya saing) melalui GONGSIPAKAS (Gotong Royong Sila Padi Kapas). Selamat membangun Revolusi Mental!.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.