Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kawin Colong, Solusi Nikah Tanpa Restu
Kawin colongan ini terjadi jika ada satu pasangan yang saling mencintai namun hubungan mereka tak direstui orangtua sang gadis.
Editor: Hasanudin Aco
Mona Rucita Larasati Anwar
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya
DATA Badan Pusat Statistik tahun 2010 menyebut suku bangsa di Indonesia mencapai 1.340 suku dengan 300 kelompok etnik. Suku-suku ini didominasi suku Jawa dengan jumlah 41 persen dari total populasi penduduk Indonesia. Salah satu suku di Pulau Jawa yang menarik diketahui adalah Suku Osing di Banyuwangi, Jawa Timur. Suku Osing atau juga bisa disebut suku Using adalah penduduk asli Banyuwangi dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Suku ini mempunyai banyak tradisi unik seperti mepe kasur, tumpeng sewu, geredoan, kebo-keboan, dan lain-lain.
Satu tradisi lain yang unik adalah kawin colongan, yaitu tradisi menculik si gadis dari rumah orangtuanya untuk dinikahi. Tradisi ini sangat unik, bagaimana tidak, di saat fenomena ini dianggap sebagai tindakan kriminal oleh sebagian masyarakat, hal ini justru jadi bagian sebuah tradisi turun temurun masyarakat Banyuwangi. Masyarakat Banyuwangi pun tak menganggap hal tersebut sebagai tindak kejahatan, justru hal itu dianggap sebagai simbol keberanian dan kejantanan si pria dalam menghadapi perseteruan antara pihaknya dengan pihak perempuan.
Kawin colongan ini terjadi jika ada satu pasangan yang saling mencintai namun hubungan mereka tak direstui orangtua sang gadis. Lalu pasangan tersebut sepakat menentukan hari untuk melakukan colongan (penculikan). Namun colongan inipun ada aturannya. Saat sang pria melakukan colongan dia harus ditemani oleh colok (utusan). Colok bisa dibilang tokoh masyarakat atau orang yang dianggap mempunyai kepandaian dan dihormati di wilayah tersebut.
Fungsinya adalah mengawasi proses colongan dan selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada orangtua sang gadis. Itulah mengapa dibutuhkan sosok yang dihormati untuk menjadi seorang colok karena colok ini akan menjelaskan secara langsung kepada orangtua si gadis bahwa anaknya telah dilarikan.
Saat seorang colok memberitahu hal itu kepada orangtua si gadis, biasanya mereka akan setuju karena mereka menganggap bahwa anak gadis mereka sudah tak suci lagi. Dengan demikian pihak si gadis sudah tak mempunyai alasan lagi untuk menolak pernikahan calon pengantin karena jika mereka menolaknya, hal tersebut malah menjadi aib keluarga. Orangtua sang gadis bersama colok akan langsung mendiskusikan hari pernikahan calon pengantin.
Tradisi kawin colongan ini jarang sekali berakhir di pengadilan karena masyarakat suku Osing menganggapnya sebagai bagian dari adat dan tradisi.