Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Takdir Kematian Jangan Dikaitkan Buruknya Manajemen Penerbangan, Bukan Salah Tuhan Tapi Manusia
Buruknya manajemen penerbangan jangan dikaitkan dengan takdir kematian. Ini salah manusia, bukan Tuhan!
Editor: Agung Budi Santoso
Jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 masih menyisakan duka yang sangat dalam bagi saya pribadi meskipun tidak seorangpun penumpang dalam pesawat itu adalah saudara saya. Saat pertama kali mendengar pesawat tersebut hilang dari pantauan Air Traffic Controller (ATC) bandara Surabaya, dada saya berdegup kencang dan segera memanjatkan doa agar pesawat tersebut beserta penumpangnya baik-baik saja atau segera ditemukan.
Hal tersebut juga saya alami saat pertama kali mendengar pesawat Adam Air DHI574 tiba-tiba menghilang dari pantauan bandara Juanda, Surabaya pada 1 Januari 2007.
Kecelakaan pesawat yang beberapa kali terjadi di Indonesia (kalau tidak bisa dibilang “sering”) baik yang berujung pada kematian ataupun masih dalam keadaan hidup atau selamat, kadang membuat saya menjadi “paranoid” untuk naik pesawat jika saya akan pulang kampung ke Jakarta, atau pergi kemanapun, saya lebih memilih naik kapal laut (meskipun prosedur penataan, kenyamanan dan keselamatan juga sangat buruk disini).
Bukan Takdir
Beberapa kawan kadang menertawakan “keparanoidan” saya terhadap pesawat. Ada yang bilang, “Itu sudah takdir jalan kematiannya di pesawat ” atau “kalau mau mati mah dimana aja dan kapan aja”. Betul! Mati adalah suatu hal yang pasti terjadi; kapan saja dan dimana saja.
Mati adalah takdir semua manusia yang hidup. Tapi, apakah kita lantas “menyerahkan” takdir kita pada kebobrokan birokrasi mulai dari pegawai rendahan, pejabat yang berkaitan dengan lalu lintas penerbangan, dan juga pihak maskapai penerbangan sendiri? Tidak. Itu bukan takdir. Tapi itu adalah “gambling”. Kalau kita menang, kita selamat. Kalau kita kalah, kita mati; nyawa taruhannya.
Saya mempunyai kawan yang pernah bercerita kepada saya bahwa anaknya baru saja masuk sekolah penerbangan untuk menjadi seorang pilot. Kawan saya itu “mengeluarkan uang” sekian puluh juta agar anaknya diterima di sekolah penerbangan tersebut. Cerita kawan saya itu membuat saya mengambil kesimpulan bahwa siapapun bisa menjadi seorang pilot walaupun kecerdasan atau intelegensinya rendah. Hal itulah (menjadi pilot yang “dipaksakan”) yang kadang menyebabkan kecelakaan pesawat. Istilah lainnya adalah HUMAN ERROR.
Lembaga pendidikan atau akademi-akademi penerbangan sudah seharusnya menyaring dengan ketat calon-calon pilot di Indonesia. Mereka wajib mengikuti berbagai tahapan atau serangkaian ujian hingga mereka lulus dan diakui sebagai akademisi penerbangan untuk mengikuti pendidikan di lembaga penerbangan tersebut. Sebuah lembaga penerbangan harus memberlakukan nilai standar Intellegency Quotient ( IQ ) dan juga Emotional Quotient ( EQ ).
Kita paham bahwa IQ bukanlah segalanya dalam dunia pendidikan. Tapi IQ menjadi nilai standar pada seorang pilot, yaitu kecepatan dan kesigapan dia berpikir pada situasi darurat untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatnya. Faktor Emotion Quotient juga sangat berperan pada seorang pilot, yaitu ketenangan dan kecermatan sikap pada situasi darurat.
Jadi, IQ dan EQ adalah hal mutlak yang harus diterapkan oleh setiap lembaga penerbangan untuk dapat menerima seseorang menjadi akademis atau praktisi penerbangan. Bila perlu pasanglah papan informasi bertuliskan “ANTI SOGOKAN” di depan halaman Lembaga Pendidikan Penerbangan saat penerimaan calon-calon penerbang atau pilot.
Tim SAR sedang mencari korban-korban AirAsia QZ8501
Sepertinya banyak yang harus direformasi dalam dunia penerbangan di negeri tercinta ini, untuk benar-benar melaksanakan KOMITMEN KESELAMATAN. Pertama, keadaan pesawat, konstruksi sistem dan mesin pesawat itu sendiri harus mempunyai keamanan dan kenyamanan dengan teknologi tinggi yang layak uji atau disertifikasi oleh badan yang mengeluarkan Sertifikasi Kelaikan Udara yang berpengalaman. Kemudian pesawat tersebut lulus “kondisi sehat” saat dijadwalkan terbang.
Kedua, pilot adalah seorang yang betul-betul lulus murni serta memiliki IQ dan EQ dengan standar yang diberlakukan sebuah lembaga pendidikan penerbangan. Kemudian juga dinyatakan sehat fisik dan mental saat dijadwalkan terbang.
Ketiga, Seorang Air Traffic Controller (ATC) juga harus memiliki lisence dan lulus pendidikan dengan murni serta memiliki IQ dan EQ standar lembaga pendidikan penerbangan. Ruang atau tower tempat ATC memandu pesawat yang sedang terbang juga harus memiliki sistem dan teknologi tinggi untuk memaksimalkan komunikasi dengan pilot pesawat yang dipandunya.
Keempat, Airnav Indonesia dan pihak-pihak atau pejabat-pejabat bandara yang terkait dengan jadwal penerbangan harus memberlakukan Standard Operating Sysyem (SOP) dengan tegas, disiplin, anti sogok, anti korup.
Kelima, pihak maskapai penerbangan harus menyadari bahwa keselamatan pesawat dan penumpangnya adalah hal mutlak dan wajib disiplin menjalankan semua prosedural yang telah diatur oleh pihak-pihak terkait (dephub, bandara, dll).
Keenam, penumpang pesawat juga wajib menjaga keselamatan bersama diatas pesawat. Artinya penumpang tidak membawa benda-benda yang berbahaya selama penerbangan dan MEMATIKAN HP.
Keenam elemen diatas merupakan sebuah tim dalam penerbangan; “team work”. Tim yang saling mendukung satu sama lain untuk mencapai suatu GOAL yaitu 3S+1C (Safety, Security, Service through Compliance).
Jika semua prosedural sudah dijalankan dengan baik dan benar maka kematian karena kecelakaan pesawat adalah memang takdir. Siapa yang bisa melawan takdir???
#Enjoy Your Flight and Keep Praying
#RIPForPassangersAirAsiaQZ8501
(Pengirim: Siti Sariah/ Tribuner)