Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Politik Masa Kini dan Kisah Joko Tingkir
Saat Damarwulan sudah sukses menjadi raja, maka hubungan antara Damarwulan dan Patih Lugender mertuanya tidak diceritakan lagi.
Penulis: Gusti Sawabi
Oleh Ignatius Sawabi Chen
Saat Damarwulan sudah sukses menjadi raja, maka hubungan antara Damarwulan dan Patih Lugender, mertuanya, tidak diceritakan lagi. Demikian pula seperti apa hubungan antara Damarwulan dengan Layangseta dan Layangkumitir, dua anak Patih Lugender yang senantiasa menjegal perjalanan politik Damarwulan. Nasib serupa juga terjadi pada kerbau gila dan 40 ekor buaya dalam cerita Joko Tingkir saat merintis karir politik.
Demikianlah kebiasaan-kebiasaan para pencerita di zaman dulu, kebanyakan hiruk-pikuk yang menyertai proses pemeran utama cerita menuju ke singgasana akan dilenyapkan begitu saja, saat sang pemeran utama sukses atau sebaliknya gagal total (mati). Para pencerita seolah puas saat pemeran utama bisa menggapai cita-citanya.
Dalam kisah sejarah Jawa cerita-cerita tentang perjalanan para raja pun demikian. Pengisah cerita bisa lebih detil membuat runtutan laku prihatinnya Joko Tingkir daripada saat Joko Tingkir sudah menjadi Sultan. Jika pun ada cerita bagaimana kisah Sultan Hadiwijaya -- gelar Joko Tinggir saat menjadi Sultan di Kasultanan Pajang --, tidak akan se-heroik bagaimana Joko Tingkir mengarungi Sungai Bengawan Sore naik perahu dan menaklukkan 40 ekor buaya yang kemudian menjadi pengawalnya.
Cerita tentang Joko Tingkir saat masih mengabdi sebagai Lurah Prajurit di Keraton Demak juga bisa dikisahkan secara lebih detil. Misalnya saat Joko Tingkir kecewa lantaran diberhentikan dari jabatannya setelah membunuh Dhadhungawuk, pemuda sombong yang hendak mendaftar menjadi prajurit. Saat itu, Joko Tingkir dan penasihatnya diceritakan menciptakan kerbau gila yang mengamuk di Alun-alun Demak dan tak seorang pun bisa menaklukkannya.
Sultan Trenggono raja Demak kala itu, lalu membuat pengumuman barang siapa bisa menangkap atau membunuh kerbau gila yang mengamuk di alun-alun akan diangkat menjadi lurah prajurit menggantikan Joko Tingkir. Ternyata tak seorang pun bisa mengatasi amukan kerbau gila di alun-alun. Lalu dikisahkan, Joko Tingkir sebagai penyelesai masalah dan si Joko mendapatkan kembali jabatannya sebagai lurah prajurit.
Kisah Joko Tingkir yang di masa mudanya menjadi lurah prajurit dan kemudian menjadi sultan di Pajang, hingga kini menjadi cerita populer di kalangan rakyat Jawa, karena kisah itu sering dipentaskan sebagai lakon ketoprak atau drama tradisional lainnya. Tentu saja sulit membuktikan kebenaran cerita kerbau gila yang sulit dikalahkan, dan cerita 40 ekor buaya yang mendorong perahu Joko Tingkir dalam mengarungi kali Bengawan Sore.
Karena sungguh tidak masuk akal, hanya seekor kerbau, tapi tidak bisa dikalahkan oleh seluruh rakyat Demak. Saya menduga-duga kerbau yang dimaksud dalam kisah itu tentu bukan kerbau yang sebenarnya. Melainkan kekuatan massa, atau simbol dari orang kuat yang membantu Joko Tingkir yang demikian disegani sehingga tak seorang pun mampu menyentuhnya.
Dalam perjalanan dari kampungnya ke Demak, Joko Tingkir juga dikisahkan dibantu 40 ekor buaya. Buaya yang dimaksud dalam cerita ini pun saya kira bukan reptil berkaki empat yang hidupnya di air itu. Buaya di sini lebih merupakan simbolisasi dari dukungan kepada Joko Tingkir dalam menggapai cita-citanya menjadi Lurah Prajurit di Demak.
Nah yang terjadi kemudian, hingga sejauh ini tidak pernah diceritakan -- setidaknya saya belum pernah mendengar -- bagaimana kelanjutan hubungan Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya itu dengan para pendukungnya tadi. Benarkah pendukung seperti yang disimbolkan dengan buaya dan kerbau tadi dilupakan begitu saja, sehingga kemudian Joko Tingkir terkena karma dikalahkan oleh Danang Sutawijaya, putera angkatnya sendiri?
Saya masih berharap suatu saat menemukan cerita tentang hubungan baik antara Joko Tingkir yang sudah menjadi Sultan di Pajang dengan kerbau dan buaya yang dahulu mendukungnya. Tetapi itu tampaknya agak sulit, karena Sultan Hadiwijaya, kerbau dan buaya itu hidup ratusan tahun lalu.
Bagaimana dengan Damarwulan?
Saat hendak merintis karier politik, Damarwulan sebagai anak kampung Paluhamba, hanya bisa menduduki jabatan sebagai pencari rumput untuk kuda-kuda milik Patih Lugender. Sebenarnya Lugender tahu Damarwulan adalah anak Patih Maudara yang sudah lengser keprabon madek pandita. Kedudukan Mahapatih kemudian dipegang Lugender.
Namun, Lugender sebagai manusia normal, tentu ingin menonjolkan dua anak kelakinya (Layangseta dan Layangkumitir) dibanding Damarwulan. Makanya Damarwulan diberi pekerjaan yang tidak memungkinkan bisa bertemu dengan Sri Ratu Suhita. Namun praktik licik Lugender pun terkuak saat terjadi pemberontakan Wirabumi di Blambangan.
Majapahit yang nyaris bisa ditaklukkan oleh Wirabumi alias Minakjinggo. Dalam keadaan kritis, Sri Suhita mendapat wangsit dari dewa, bahwa yang bisa menyelamatkan Majapahit adalah bocah dari gunung bernama Damarsasangka.
Lugender tak bisa mengelak lagi, akhirnya Damarwulan diperlihatkan kepada Sri Suhita untuk menjadi duta pamungkas mengatasi perlawanan Wirabumi. Kisah pun berlanjut dengan kematian Wirabumi di tangan Damarwulan.
Nah, seperti halnya soal kerbau dan buaya dalam cerita Joko Tingkir yang menguap begitu saja saat Joko Tingkir sudah menjadi sultan, kisah hubungan antara Lugender dengan Damarwulan pun selesai ketika Damarwulan memenangkan pertarungan dengan Wirabumi dan kemudian berhak menjadi raja di Majapahit.
Padahal, dalam cerita Jawa, Lugender adalah mertua dari Damarwulan. Begitulah cerita yang selalu menarik diceritakan kembali saat-saat politik atau terlebih perebutan kekuasaan sedang terjadi. Tanpa Lugender mungkin Damarwulan tidak bisa bertemu Sri Suhita. Tanpa kerbau gila dan 40 ekor buaya, mungkin Joko Tingkir tidak bisa menjadi Sultan di Pajang.
Tetapi demikianlah sebuah cerita perjalanan hidup. Ada yang dimenangkan dan ada yang dikorbankan. Mungkin kondisi saat ini juga akan menjadi lakon ketoprak dalam pentas dari kampung ke kampung, dari gedung ke gedung. Nanti anak cucu kita akan memerankan kita dan mungkin akan mengolah cerita menurut versi mereka sendiri-sendiri. Bisa jadi yang sekarang dianggap sebagai pecundang besok ratusan tahun kemudian akan dikisahkan sebagai pahlawan, atau sebaliknya. Semua tergantung kepentingan. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.