Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Keakraban Jokowi-Xi Jinping
Selama pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, terlihat sekali keakraban antara Presiden Jokowi dng Presiden Xi Jinping dari Tiongkok.
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh Dradjad Wibowo, Ekonom, Chairman DW & Partners
TRIBUNNEWS.COM - Selama pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA), terlihat sekali keakraban antara Presiden Jokowi dng Presiden Xi Jinping dari Tiongkok.
Bahkan tertangkap kesan, Perdana Menteri Shinzo Abe dari Jepang seperti tersisihkan. Karena saat ini hubungan Xi-Abe sangat dingin, keakraban Xi-Jokowi bisa berdampak geo-politik-ekonomi (GPE) yg serius.
Potensi manfaat politik ekonomi dari keakraban tsb sangat besar bagi Indonesia. Krn itu, saya sangat mendukung langkah Presiden Jokowi di atas. Apalagi terdapat kabar bahwa dua bank Tiongkok siap memberi pinjaman USD 50 milyar bagi Indonesia.
Meski demikian, saya mempunyai beberapa catatan agar Indonesia tetap hati-hati dan seimbang dalam percaturan GPE global yang bergerak dinamis. Seperti kata pepatah, jangan sampai "Beruk di rimba disusui, anak di pangkuan dilepaskan". Catatan tersebut adalah:
1. Hubungan tersebut perlu dijaga tetap seimbang. Jangan sampai Indonesia sekedar menjadi satelit untuk memenuhi kepentingan jangka panjang China.
Dewasa ini Tiongkok sedang mentransformasi pembangunan ekonomi jangka panjangnya. Jika semula ekonomi Tiongkok bergerak dalam rejim pertumbuhan super-tinggi bahkan sempat dua dijit.
Sekarang Tiongkok "mendinginkan" ekonominya ke dalam rejim pertumbuhan tinggi tapi sustainable pada level sekitar 7%. Presiden Xi adalah pelopor dari transformasi signifikan ini.
Pertimbangannya antara lain, laju pertumbuhan yang terlalu tinggi membuat konsumsi energi dan mineral China tumbuh di luar kendali, sehingga Tiongkok menjadi sangat rentan terhadap defisit pasokan energi dan mineral.
Kondisi ini memberi risiko strategis yg besar bagi China. Selain itu, China merasa terlalu tergantung kepada ekspor sbg sumber pertumbuhan, sehingga perlu berdiversifikasi ke konsumsi domestik.
Sanksi ekonomi AS dan Uni Eropa terhadap Rusia sebagai buntut krisis Ukraina menjadi rahmat tersembunyi bagi Tiongkok dalam proses transformasi ini. Rusia yang menoleh ke Tionkok akhirnya bersedia meneken kontrak pasokan gas Siberia ke Tiongkok senilai US$ 400 miliar selama 30 tahun.
Padahal negosiasi kontrak ini sempat buntu selama 10 tahun lebih karena perbedaan formula harga yang tajam antara kedua negara.
Bagi Tiongkok, Indonesia menjadi sumber gas, mineral, komoditi primer lain, dan sekaligus pasar ekspor. Dengan adanya kontrak gas Siberia, pasokan gas bagi Tiongkok sebenarnya relatif lebih aman. Namun Tiongkok tetap perlu mendiversifikasikan pasokan gasnya, termasuk misalnya dari ladang gas Tangguh. Demikian juga dengan batubara dan mineral seperti nikel, bijih besi dsb.
Tiongkok mengejar mineral-mineral tersebut dari Afrika, namun Indonesia lebih dekat geografisnya dan cukup kaya mineral. Jadi, dalam konteks transformasi ekonomi China, Indonesia menjadi bagian dari diversifikasi sumber gas, mineral, komoditi primer lain dan pasar ekspor.
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.