Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
UMKM, Kunci Ketahanan Ekonomi Saat Nilai Dolar Menggila
Ironinya, ketika ekonomi melemah pemerintah justru mendatangkan ribuan pekerja asing sementara di negeri sendiri pengangguran menjamur.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Oleh Beni Pramula
Ketua Umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
NEGARA di ambang kebangkrutan, bangsa ini sudah memasuki fase krisis. Serapan modal belanja pemerintah saat ini tidak lebih dari 20 persen, sedangkan cadangan devisa saat ini 4,7 persen. Ini hanya mampu untuk menahan arus krisis hingga empat bulan ke depan.
Suku bunga bank tinggi terjadi, goverment spending, inflasi tinggi, pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana-mana. Belum lagi hari ini saja, Senin (7/9/2015), pukul 09:09 WIB, dolar AS sudah menembus Rp 14.220.
Tidak adanya sentimen positif dalam negeri dan ekspektasi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS telah memicu dolar AS semakin kuat terhadap rupiah. Berdasarkan situs sejumlah perbankan nasional, dolar AS hari ini diperdagangkan di atas Rp 14.220.
Dolar AS di PT Bank Negara Indonesia Tbk dijual di posisi Rp 14.245, sedangkan kurs beli Rp 14.095. Sementara itu, harga jual dolar AS di PT Bank Central Asia Tbk dipatok di level Rp 14.240 dan kurs beli Rp 14.210. Selanjutnya, dolar AS di PT Bank Mandiri Tbk dijual Rp 14.250 dan kurs beli dipatok Rp 14.220.
Bunga tinggi, pajak tinggi, jaminan sosial rendah, depresiasi yang begitu tajam akan berujung pada defisit devisa. Hal ini pun ternyata tidak mampu direspons pemerintah sehingga berdampak besar pada ekonomi bangsa, khususnya rakyat kecil.
Tim ekonomi pemerintahan saat ini lemah, tidak memiliki strategi dan kehilangan orientasi dalam menghadapi pelemahan ekonomi. Ironinya, ketika ekonomi melemah pemerintah justru mendatangkan ribuan pekerja asing sementara di negeri sendiri pengangguran menjamur.
Hal itu bisa diartikan sebagai pemiskinan secara struktural begitu. Ironis, janji kampanye akan membuka ribuan lapangan kerja, malah menciptakan ribuan pengangguran baru.
Peluang di balik melemahnya nilai rupiah lewat peningkatan ekspor sepertinya baru sebatas retorika politik. Buktinya, sampai September, nilai ekspor Indonesia tidak meningkat secara signifikan. Malah, sempat menurun pada periode November 2014 – Januari 2015 (BI).
Atas situasi seperti ini pemerintah mestinya menggencarkan pemerataan pendapatan melalui kepemilikan aset yang saat ini 60 persen dikuasai asing. Kuncinya adalah keberpihakan terhadap usaha mikro kecil menengah (UMKM) untuk mengantisipasi kesenjangan.
UMKM adalah pertahanan ekonomi bangsa indonesia, pengalaman tahun 1998 penguatan terhadap ketahanan ekonomi nasional adalah UMKM kala itu yang menjaga stabilitas ekonomi.
Positioning perbankan harus didorong menembus sektor itu. Atas melemahnya daya beli masyarakat, subsidi bunga untuk meningkatkan daya saing ekonomi membangkitkan ekonomi daerah dengan menggenjot infrastruktur daerah, bisa jadi solusi bagaimana ada penguatan ekonomi secara merata ke daerah.
Tapi situasi yang ada saat ini justru membahayakan. Perbankan menahan kreditnya. Karena itu, pemerintah jangan ragu dan kehilangan orientasi. Urusan sandera-menyandera kepentingan politik lebih dominan sehingga yang muncul adalah kegaduhan politik.
*Seperti disampaikan Beni Pramula saat menghadiri Seminar bertajuk "Daya Tahan Ekonomi Indonesia" yang diselenggarakan oleh Relawan Merah Putih di Jalan Cik Di Tiro, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (7/9/2015). Hadir dalam dialog tersebut Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, Ketua Umum BPP HIPMI Bahlil Lahadalia, Direktur Utama Bank Mandiri Budi G Sadikin, dan anggota DPR RI Maruarar Sirait.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.