Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
JPPI Kecewa Putusan MK soal UU Sisdiknas
JPPI menilai MK gagal memaknai konstitusi sebagai konstitusi yang hidup dan sesuai perkembangan zaman.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Ridwan Darmawan
Kuasa Hukum JPPI
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setahun lebih setelah didaftarkan dan setahun persis pasca persidangan pendahuluan ke 2 (perbaikan permohonan) yakni 07 Oktober 2014 lalu, hari ini, Rabu, 07 Oktober 2015, MK baru saja membacakan Putusan atas Perkara pengujian UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan nomor perkara 92/PUU -XIII/2014, yang pada pokoknya MK menyatakan bahwa permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum, pertimbangannya menurut MK, bahwa pokok permohonan para pemohon, yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas, adalah kebijakan hukum yg menjadi kewenangan para pembuat UU yakni pemerintah dan DPR atau dalam istilah MK open legal policy.
Atas putusan tersebut, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan Tim Advokasi Wajib Belajar 12 Tahun sebagai Pemohon dan kuasa hukum dalam permohonan tersebut menyatakan kekecewaan yang mendalam terhadap beberapa hal.
Pertama, terkait fakta yang terungkap didalam putusan yang dibacakan MK, bahwa putusan tersebut diambil berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim yang dilaksanakan pada tanggal 22 Oktober 2014, dan RPH tersebut masih diketuai oleh Hamdan Zulfa, adalah problem yg krusial terkait manajemen penyelesaian perkara di MK, bagaimana mungkin hal itu terjadi ,setahun lebih perkara ini mandek di MK sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para Pemohon.
Kedua, adanya kenyataan bahwa pembacaan putusan yang tanpa melewati proses sidang pleno terkait perkara ini, meski MK mendasarkan tindakannya tersebut kepada Pasal 54 UU MK ,yang menurut tafsir MK kata "dapat" di dalam Pasal 54 tersebut menandakan boleh menggelar persidangan pleno untuk mendengarkan keterangan MPR, DPR, Presiden, ahli, saksi dan boleh juga untuk tidak menggelar persidangan untuk itu. Terhadap hal ini, khususnya terhadap perkara ini, kami memandang, bahwa sangat disayangkan MK melewatkan momentum yang dinantikan publik terkait isu pendidikan dengan tidak menggelar persidangan untuk menggali, memperkaya pemikiran, wawasan baik secara teori maupun praktek perkembangan dunia pendidikan baik di tingkat nasional dan global serta juga kenyataan pengelolaan pendidikan ditingkat pemerintah daerah dan pendapat para stakeholder pendidikan. Terutama RPH nya sendiri dilakukan pada Tahun lalu, yang jelas sekali akan banyak perkembangan yang terlewatkan dari jangkauan hakim konstitusi.
Ketiga, terhadap pokok putusan yg dibacakan MK, kami memandang MK gagal memaknai konstitusi sebagai konstitusi yang hidup dan sesuai perkembangan zaman, MK tidak mampu menghadirkan terobosan hukum yang sejatinya akan menjadi payung hukum bagi pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun untuk menggantikan program wajib belajar 9 Tahun yang telah diklaim tuntas pada tahun 2009 lalu.
Jakarta, 07 Oktober 2015
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.