Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Revolusi Mental Melalui Saham Sosial
Seorang pemulung punya andil dalam masyarakatnya.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Dody Susanto
Direktur Klinik Pancasila
TRIBUNNEWS.COM - Masyarakat terbentuk oleh hubungan-hubungan jangka panjang dan jangka pendek yang diatas dasarkan pada kepentingan untuk tetap hidup (survive).
Dalam perspektif yang lebih purba, 'komunitas' (masyarakat) dipelihara oleh suatu mekanisme alam yang mentautkan setiap anggotanya dengan kepentingan hayatinya, antara satu sama lain. Inilah yang menimbulkan apa yang lazim sekarang dikenal sebagai 'ekonomi'.
Dan dalam sebuah bangunan masyarakat (societal building) hampir setiap individu mempunyai peranan dan andil sosial (sosial role, sosial share). Tak masalah seberapa besar atau kecil saham sosial itu. Serta dalam rupa apa peran dan andil itu. Entah apakah ia dihargai langsung atau tak langsung secara ekonomis, maupun hal-hal yang tak ternilai secara ekonomis (Neo-Sosiologi:2009).
Bahkan sadar atau tidak sadar, setiap individu sosial mempunyai peran atau kita istilahkan disini saham sosial. Sekalipun peran itu kadang negatif (merugikan atau tidak baik secara etis) bagi masyarkat. Namun begitulah, masyarakat terbentuk oleh konflik interest terus menerus yang telah ajeg sehingga sampai pada titik keseimbangannya (equilibrium/ isti'dal). Dengan demikian bangunan masyarakat berkesinambungan.
Apa yang telah ada dan berlangsung dalam masyarakat itu adalah apa yang telah dijalankan oleh individu-individu sosial. Dan itu adalah saham sosial. Saham sosial itu adalah suatu share yang tak bisa diuangkan atau semata dinilai secara ekonomis. Tochwalaupun kelak kebernilaian (prizing)nya muncul dalam ranah ekonomi (menguntungkan), ia tetap menjadi saham secara sosial.
Karena itu saham sosial ini berlaku secara serikat, yakni menurut perikatan-perikatan sosial dalam masyarakat itu. Misalnya 'Hutang Budi' itu tidak bisa diuangkan, walaupun sekali waktu uang/jasa dapat menggantikan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Masyarakat sudah termafhumkan dalam hal ini, bahwa saham sosial adalah salah satu perekat-ikat bangunan masyarakat (societal building) selain konflik interest tadi.
Serikat Saham Sosial dalam tulisan ini merupakan petikan-petikan gagasan yang terdiri dari tiga pokok ide menjadi wahana melacak dan menilik potensi-potensi masa depan membangun "Sosialisme Indonesia". Istilah ini hanya 'penyederhanaan' dari aspek nilai dan cita-cita Sila Kelima Pancasila. Jadi sosialisme Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, semenjak istilah itu sendiri diakrabkan di telinga orang Indonesia dengan sebutan "Gotong Royong".
Gotong royong ini adalah induk dari simpul-simpul Kepedulian Sosial. Simpul- simpul itu bisa kita sebutkan disini seperti Kesetiakawanan Sosial, Sikap Altruisme (Perasaan Senasib Sepenanggungan), Ekonomi Gotong Royong atau kita kenal dengan KOPERASI, dan Kekeluargaan. Itulah derivasi Gotong Royong.
Sebenarnya seberapa jauh atau besarnya, setiap individu dalam masyarakat sebagaimana dikatakan sebelumnya punya andil dan kiprah 'membangun' dan membentuk bangunan sosial (societal building); yakni masyarakat itu sendiri. Seorang individu ia sekaligus 'mahluk' sosial. Dengan pengandaian, setiap aktivitasnya sekecil apapun punya kaitan atau arti penting dalam masyarakat-.
Seorang pemulung punya andil dalam masyarakatnya. Seorang pemimpin perusahaan juga mempunyai andil dalam masyarakatnya. Juga demikian tukang sapu di jalan, tukang dagang klontong, montir di bengkelnya, sopir angkot. Mereka punya andil baik karena kedekatan mereka dengan kegiatan ekonomi langsung ataupun yang tidak langsung.
Aspek ekonomi maupun sosial, budaya, bahkan politik menjadi 'pupuk' sebuah bangunan sosial tercipta. Sehingga meski status sosial pemulung kurang dianggap penting dalam struktur sosial, tetapi ia punya peran sosial formatif yang penting dalam masyarakatnya. Demikian status sosial pedagang sayur, yang kadang bergulat dalam kegiatan ekonomi level bawah, mampu memberikan efek sosial, dan tentu juga ekonomi, dengan kegiatannya itu dalam masyarakat.
Juga demikian dengan seorang ustadz tradisional di kampung-kampung, seorang Guru (pendidik) yang kurang berorientasi ekonomis, atau jenis-jenis "profesi" Kerja Sosial (Kesos). Artinya setiap individu sebenarnya mempunyai saham sosial bagi pertumbuhan masyarakatnya. Namun demikian peran-peran kecil atau besar maupun baik atau buruk dari setiap 'mahluk' sosial dengan strata berbeda ini kadang terhukumi oleh hukum besi yang berlaku di dalam masyarakat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.