Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Penggunaan Dana Desa Diharapkan Mempertimbangkan Kepentingan Masyarakat
Akan tetapi akan lebih tepat sebutan yang digunakan adalah pembangunan pelayanan publik di desa yang tidak hanya mencakup soal fisik akan tetapi juga
Ditulis oleh : M. Rizki Pratama, Mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada Dan Awardee BPI-LPDP
TRIBUNNERS - Gelontoran dana dari pemerintah pusat ke desa menjadi angin segar bagi penduduk desa yang telah sekian lama terisolasi dari jangkauan perhatian pemerintah. Kini mereka bisa menentukan nasib desa, tempat hidup mereka sendiri tanpa harus menunggu aksi nyata pemerintah pusat.
Menurut Kemendes sendiri dana desa akan diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur sesuai dengan arah kebijakan Presiden Jokowi saat ini.
Akan tetapi akan lebih tepat sebutan yang digunakan adalah pembangunan pelayanan publik di desa yang tidak hanya mencakup soal fisik akan tetapi juga soal hal-hal yang tak kasat mata yang selama ini telah ada dalam nilai-nilai masyarakat desa yang tentu saja harus dilihat dari kacamata orang desa sendiri bukan telunjuk tangan dari Jakarta.
Desa harus bermetamoforsis dari dalam tanpa intervensi berlebihan eksternal yang terkadang tak sesuai dengan fakta pedesaan.
Desa membangun yang dilakukan masyarakat harus berbasis kebutuhan mereka bukan soal arahan pemerintah pusat untuk membangun infrasktruktur yang terkesan kembali top-down, pembangunan desa dan proyek desa.
Masyarakat desa harus membangun kebijakan pembangunan mereka sendiri sepanjang tidak menyalahi konstitusi dan tentu berhak menolak arahan pemerintah pusat yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Bisa jadi jika agenda developmentalism yang dijalankan justru merusak nilai-nilai keguyupan yang telah ada.
Ciri khas desa harus tetap dipertahankan sebagai pusat kebudayaan masyarakat yang telah terpinggirkan.
Perawalan basis kebutuhan masyarakat desa adalah kunci desa membangun yang dapat diakomodasi oleh pelayanan publik dalam konteks “lokal”.
Teringat istilah Metis dari James Scott (1998) bahwa ada tata cara lokal untuk mengatasi persoalan di tingkat lokal.
Kebutuhan lokal, masalah lokal dan tata cara lokal menjadi bagian tak terpisahkan untuk menjadikan posisi desa semakin horizontal dengan entitas mapan lainnya seperti pemerintah daerah, jujur saja harapan kita lokalitas dapat menjadi solusi berbagai permasalahan di republik dengan diversitas ekstrim.
Penyelenggaran layanan publik dengan kultur lokal yang khas dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa akan memupuk kebudayaan pedesaan yang telah lama hilang.
Praktek-praktek entitas desa dalam melayani kebutuhan masyarakat desa sudah terjadi bahkan sebelum implementasi UU Desa.
Hasil pemberdayaan dari tahun 2008 dari program ACCESS II (2013) menghasilkan berbagai variasi baik atas desa yang melayani warga seperti penyediaan air bersih, pelayanan dan gerakan kesehatan serta pelayanan dan gerakan kesehatan berbasis desa.
Pelayanan tersebut merupakan hasil dari partisipasi warga untuk melayani kebutuhan bersama sehingga ada komitmen bersama yang kuat untuk saling menjaga keberlangsungan layanan.
Banyaknya prakarsa dari desa sudah seharusnya dipetakan dan disebarkan secara luas, perlu semacam sistem knowledge sharing antar desa sehingga tidak ada gap informasi yang seringkali menghambat implementasi sebuah kebijakan karena hal-hal sederhana, seperti ketidaktahuan aktor tentang konten kebijakan.
Perdebatan praktis harus terjadi dimana masing-masing desa yang kurang memiliki kapasitas dapat belajar dari desa lain yang sudah berhasil dalam melayani warga.
UU Desa bukan untuk mendirikan desa-desa yang egois atas kepentingan mereka sendiri, harus ada kesadaran antar aktor-aktor desa bahwa desa-desa dalam republik ini memang harus mandiri akan tetapi tetap dalam satu kesatuan yang jelas, antar desa harus gotong royong bukan jalan sendiri-sendiri.
Praktik gagal sudah terjadi antar pemerintah daerah, banyak sekali kebijakan yang saling tabrak menabrak antar satu daerah dengan daerah lain, bahkan perebutan sumber daya yang dahulu tidak terurus.
Di tingkat Kementerian hal yang sama juga terjadi.
Silo mentality harus dihindari dalam penyelenggaran layanan publik di desa barangkali perkumpulan beberapa desa yang dekat secara geografis mampu mendirikan pusat kesehatan masyarakat yang berkualitas, sistem asuransi kesehatan yang fleksibel bahkan pendidikan yang berbasis desa.
Di Jerman kita mengenal Kota Freiburg yang dikelilingi desa terhijau yang sustainable, bahkan ada desa yang memiliki mata uang sendiri untuk mempertahankan orang desa agar tak melakukan urbanisasi.
Entitas desa sebenarnya harus memiliki aset intangible dengan basis lokal. Semua itu tercermin dari aksi nyata desa dalam melayani masyarakatnya.
Modal sosial masyarakat desa harus kembali diperkuat jangan sampai aliran kapital justru menimbulkan konflik yang berakhir pada salah urus desa.
Sebuah desa wajib membangun basis distinctive pelayanan kepada masyarakatnya sehingga menjadi ciri khas desa sebagai pengikat bersama.
Tantangan bersama masyarakat desa dalam menyelenggaraan pelayanan publik lokal mereka adalah bagaimana memperlakukan modal material sebagai urusan sekunder yang tentu harus mereka abaikan dulu sebelum urusan primer yang non material dapat mereka selesaikan terlebih dahulu.
Kedepannya mungkin ada persaingan antar desa dengan pemerintah daerah dalam kegiatanan pelayanan publik, yang tentu desa yang tinggi lokalitasnya harus mendahului layanan publik dari pemerintah daerah bahkan pemerintah pusat sekalipun.
Sekali lagi ciri khas desa adalah intangible yang tak cukup hanya dibangun tapi juga menjadi kebudayaan.