Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Polemik Kepengurusan Dua Partai Besar Akan Membawa Persoalan Besar
Polemik setatus kepengurusan dua Partai era orde baru yakni Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sampai kini belum jelas.
"Kalau memang dipersamakan, apakah PG setara dengan partai lainnya yang terdaftar pada pemerintah? Jika tidak sama, mengapa kinerjanya di DPR RI bisa dipersamakan dengan partai yang terdaftar? Apakah itu sah?"
Jangan sampai, lanjut Junisab ada yang menyatakan kalau didalam unsur DPR RI ditemukan ada partai yang tidak secara sah tergistrasi di pemerintah namun ikutan menggerakan DPR RI lalu akan disebut menjadi DPR RI yang tidak sah. Ini, dikhwatirkan akan menambah kompleksitas masalah ketata-negaraan.
"Sebab, kondisi yang dialami PG itu sepertinya sama sekali tidak pernah diperhitungkan DPR RI saat mereka membuat UU Partai Politik dan UU MD3. Karena, kalau ada anggota DPR RI yang duduk menjabat saat partainya terdaftar di pemerintah lalu kemudian partai itu tidak lagi terdaftar dengan alasan atau sebab apapun, bagaimana dengan posisi keanggotaan partai itu di DPR RI? Karena, unsur DPR RI adalah anggota partai yang berhasil mendapatkan suara dalam pemilihan legislatif," ungkap dia.
Lanjut dia, apakah sah anggota DPR RI yang tahun 2015 terpilih melalui PG saat teregistrasi di pemerintah namun sekarang PG bukan partai politik yang sah teregistrasi. "Padahal anggota DPR RI haruslah berasal dari partai. Apa mereka masih sah disebut sebagai anggota DPR RI?"
"Sah kah Ketua DPR RI yang partainya tidak sah didalam registrasi pemerintah layaknya partai politik lainnya," sambung dia
Junisab menilai karena kubu ARB belum terregistrasi dalam keabsahan di Kemenkumham maka kemungkinan bisa saja terjadi nanti ada kelompok diluar ARB atau AL yang berhasil mencari pengurus PG. Lalu pakai dasar apa pengurus baru itu akan meregistrasikan dirinya?
"Saat kepengurusan baru mendaftar ke pemerintah, bagaimana Kemenkumham menulis kepengurusan itu? Apa akan disebut pengurus PG yang lalu atau partai baru yang bernama 'PG'? Kalau sudah seperti itu, bukankah itu malah akan melahirkan dua PG. Jadi bukan lagi dualisme kepengurusan namun sudah dua PG? Sebab, Kemenkumham tidak akan pernah bisa membuktikan 'kesinambungan' hukum dari bekas pemegang registrasi pendaftaran di pemerintah dengan kepengurusan yang baru nanti. Ini hal lain yang berpotensi akan semakin menambah kompleks permasalahan PG," papar dia.
Lantas kata Junisab, bagaimana cara 'mensahkan' kembali pengurus PG yang akan datang agar bisa seperti periode DPR RI sebelum-sebelumnya?.
"Itu tugas berat kita semua sebagai bangsa sebab PG adalah aset bangsa, bukan hanya milik orang-orang yang sedang 'bersiteru' dan yang sedang mengupayakan jalan keluar dari konflik PG itu," ucapnya.