Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Butuh Pendekatan Baru dalam Pemberantasan Aksi Teror
Baku tembak antara aparat keamanan dengan kelompok yang diduga sebagai teroris terus terjadi.
Ditulis oleh : Fraksi Nasdem
TRIBUNNERS - Baku tembak antara aparat keamanan dengan kelompok yang diduga sebagai teroris terus terjadi.
Dua hari lalu, Selasa (09/02/2016), satu orang aparat Kepolisian Poso menjadi korban selain dua orang terduga teroris kelompok Santoso.
Pada pertengahan Januari (15/1/2016) peristiwa yang sama juga terjadi di Poso.
November 2015, seseorang yang diduga jaringan yang sama juga tewas ditembak aparat keamanan.
Tokoh masyarakat Sulawesi Tengah, Ahmad M Ali menilai bahwa metode aparat dalam menangani aksi teror ini perlu dievaluasi.
Menurutnya, pendekataan kekerasan dalam mengatasi aksi teror terbukti tidak cukup efektif menyelesaikan masalah.
"Semenjak UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU No.1 Tahun 2002-red) lahir, hampir empat belas tahun, sekarang mari evaluasi ada ga efek jera yang muncul dari penanganan represif ini,” katanya.
Dia menegaskan, pemerintah perlu mengubah pendekatan represif ke pendekatan berbasis ideologis.
Menurutnya, pemerintah jangan lagi memperlihatkan tindakan yang justru semakin memperkuat keyakinan kebencian yang dimiliki kelompok yang ingin meneror Indonesia.
Ali yang kini menjadi salah seorang anggota DPR RI dari dapil Sulawesi Tengah menjelaskan, kelompok teror pimpinan Santoso di Poso merupakan kelompok kecil yang saat ini sudah jauh dari dukungan masyarakat.
"Masa sehebat itu mereka? Masa negara (dengan ribuan aparatnya) kalah dengan 30-40 orang?” katanya.
Namun demikian, Ali juga mengingatkan bahwa saat ini keamanan bukan lagi semata menjadi domain aparat. Masyarakat juga perlu terlibat dan dilibatkan langsung dalam persoalan-persoalan keamanan.
Dalam kasus kelompok Santoso, mantan pimpinan HMI Sulteng ini menjelaskan, munculnya Santoso adalah buah dari kegagalan pemerintah merelokasi aktor-aktor pasca konflik Poso terdahulu.
Santoso dahulu merupakan kelompok kecil yang juga terlibat dalam konflik Poso.
Namun setelah terselenggara perdamaian antara kelompok Muslim-Kristen, Santoso kehilangan isu sentral sampai akhirnya berbaiat ke Jamaah Islamiyah dan akhirnya ISIS.
Dari sinilah perjalanan Santoso melakukan teror terhadap aparat keamanan pemerintah.
"Di Poso itu, sekarang, tidak ada permusuhan Islam-Kristen (lagi). Terjadi pergeseran nilai (di kelompok Santoso), justru adalah aparat yang menjadi sasaran sekarang ini. Karena aparat dianggap toghut,” jelasnya.
Menanggapi wacana pembentukan LP khusus terpidana teror, Ahmad Ali memandang hal itu memang diperlukan.
Dia membandingkan bahaya terorisme yang menurutnya tidak jauh lebih mengerikan ketimbang korupsi.
"Mengapa untuk tahanan koruptor bisa ada LP Khusus, sedangkan teroris-teroris itu tidak? Padahal mereka ini bisa merekrut jaringan barunya di dalam LP jika tidak dikhususkan,” ujarnya.
Ali, yang merupakan salah satu tokoh dalam Deklarasi Malino, mengingatkan pemerintah bahwa upaya deradikalisasi di dalam LP akan lebih optimal apabila juga melibatkan tokoh-tokoh dalam jaringan.
Hal ini karena para teroris itu hanya akan tunduk kepada pemimpinnya, bukan dari pihak lain.