Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Tidak Ada Alasan Jokowi Revisi UU KPK

Respublica Political Institut (RPI) menolak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ditulis oleh : RPI

TRIBUNNERS - Respublica Political Institut (RPI) menolak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ketua Departemen Hukum RPI, Fathudin menilai naskah perubahan UU KPK dari Badan Legislasi DPR masih meneguhkan adanya upaya pelemahan KPK.

Menurutnya, pasalnya substansi perubahan UU KPK masih berkisar pada empat poin yang justru akan membonsai kewenangan KPK, yakni pembentukan dewan pengawas KPK, penyadapan dan penyitaan dengan izin dewan pengawas, pemberian wewenang bagi KPK untuk dapat menerbitkan SP3, serta pengangkatan penyidik independen.

Alumnus Magister Hukum dari Universitas Indonesia ini menyebutkan tiga dari empat poin tersebut jelas akan membonsai kewenangan KPK sebagai lembaga extra-ordinary dalam konteks pemberantasan korupsi.

Demikian pula, demikian Fathudin, skema pengangkatan penyidik independen, Pasal 45 UU KPK sebenarnya sudah cukup untuk menjadi dasar KPK untuk dapat mengangkat penyidik independen sehingga revisi UU KPK tidaklah perlu dan mendesak.

Menurut Fathudin, undang-undang KPK memang bukan untouchable norm, namun UU KPK juga bukan sekedar black letter yang bebas dari sarat kepentingan, justru sebaliknya, UU KPK justru kerap dibidik dan dijadikan objek kepentingan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendifinisikan kekuasaan dan melanggengkan eksistensinya.

Berita Rekomendasi

Fathudin juga menandaskan, jangan sampai penolakan partai politik terhadap revisi undang-undang KPK juga hanya sebatas pencitraan, sebaliknya harus mencerminkan sikap dan komitmen bagi penguatan KPK.

Ia melihat konstelasi politik di parlemen, dari 10 fraksi sekarang hanya dua fraksi yang secara tegas menolak, yakni fraksi partai Gerindra dan Demokrat, maka bandul politik penolakan perubahan UU KPK sekarang ada di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Presiden Jokowi harus komit dengan janjinya dalam mendukung upaya penguatan KPK,” kata Fathudin yang juga alumnus Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Menurut Fathudin, Presiden Jokowi semestinya mengimbau dan mengajak partai-partai pendukung pemerintah untuk menolak perubahan UU KPK.

“Jika memang hal tersebut tidak berhasil dan pembahasan antara DPR dan pemerintah terus berlanjut, maka Presiden harus memastikan wakil dari pemerintah, dalam hal ini menteri yang ditunjuk Presiden mewakilinya untuk tidak memberikan persetujuan bersama, sebagaimana Pasal 20 ayat (3) UUD 1945,” katanya.

Sementara Direktur Eksekutif RPI, Benny Sabdo menegaskan RPI secara kelembagaan menolak perubahan UU KPK jika substansi perubahannya masih ditengarai memperlemah KPK.

“Gerakan perlawanan terhadap koruptor dan perilaku koruptif di republik ini akan terus menjadi konsen RPI sebagai bagian dari tanggung jawab sosial-politik,” tuturnya.

Pengamat hukum tata negara ini mengatakan pembentukan hukum harus memenuhi rasa yang baik dan pantas bagi kehidupan bersama.

"Hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi keadilan dan kebaikan bersama,” katanya.

Menurutnya, DPR sebagai refleksi kedaulatan rakyat seharusnya mempertimbangkan rasa keadilan dan kebaikan masyarakat.

“Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Ini cermin mekanisme checks and balances dalam konstitusi kita. Tidak ada cabang kekuasaan yang merasa superior,” katanya.

Menurut Benny, skenario perubahan UU KPK ini adalah agenda utamanya delegitimasi KPK. Mengingat selama ini KPK selalu menunjukkan supremasi hukum dalam hal pemberantasan korupsi di cabang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

Berdasarkan catatan RPI, demikian Benny, sejarah delegitimasi lembaga antikorupsi seperti KPK merupakan pola berulang.

"Sudah ada tujuh institusi pemberantasan korupsi patah tumbuh hilang berganti di republik ini. Empat di antaranya sengaja dimatikan setelah mencoba agak keras menyeret penguasa dengan delik korupsi," katanya. 

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas