Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kisah Cak Tiri Menjaga Asa Ludruk di Tengah Kemajuan Zaman
Pesut begitu nama awal kesenian ini, seiring berkembangnya jaman nama pesut terus mengalami perubahan hingga pada sekitar masa kemerdekaan Republik In
Penulis: nadya yudo
TRIBUNNERS - Pesut begitu nama awal kesenian ini, seiring berkembangnya jaman nama pesut terus mengalami perubahan hingga pada sekitar masa kemerdekaan Republik Indonesia kesenian ini dikenal dengan Ludruk.
Ludruk merupakan salah satu kesenian Jawa Timur yang sudah tidak asing di telinga masyarakat, tapi sayangnya hanya sedikit yang mengerti seperti apa kesenian Ludruk itu sendiri.
Bahkan antusias untuk menonton pertunjukan Ludruk saja rendah. Terbukti dengan sepinya penonton di THR (Taman Hiburan Rakyat) yang setiap malam minggunya Ludruk Irama Budaya menampilkan pertunjukan Ludruk.
Tetapi di tengah gusuran hiburan-hiburan lain yang dirasa lebih cook mendampingi kota metropolitan Surabaya, para pemain atau seniman Ludruk bisa mempertahankan jalannya.
Yuli Triono atau yang lebih akrab dipanggil Cak Kitri mengaku masih bermain Ludruk dengan suka cita dan selalu merasa bahagia.
Pria kelahiran Kediri 17 Juli 1979 ini mempunyai seorang istri bernama Siti Hajar yang senantiasa menerima keadaannya hingga sekarang dikaruniai seorang anak.
Perjalanan Ludruk yang dilalui Cak Kitri hingga sekarang bukanlah jalan pintas, bukan pula jalan yang mudah serta lurus tanpa terjal.
Cak Kitri mulai ikut terlibat dengan Ludruk sejak ia berada di TK B.
Dengan pengaruh dari orang tua yang juga berkecimpung dalam dunia seni mampu memperdalam keingintauan Kitri kecil kala itu.
Dengan ayah seorang Pengrawit (pemain musik) dan Ibu seorang Pentaris (penata kostum dan make-up) membuat darah seni kental turun kepada Cak Kitri.
Kala itu, dimana Ludruk masih digemari karena menjadi media hiburan utama masyarakat dan mampu mendorong perekonomian keluarga Cak Kitri, hingga kakak perempuan dan kakak laki-lakinya mampu menamatkan pendidikannya.
“Sialnya, saat saya mulai remaja, Ludruk sudah mulai padam," katanya Cak Kitri yang tak mampu melanjutkan pendidikan di salah satu SMP di Tulungagung.
Redupnya Ludruk karena media hiburan lain seperti televisi mulai menjamur di masyarakat menyebabkan Cak Kitri juga bekerja sambilan di luar dunia seni demi menghidupi keluarganya.
Mulai dari menjadi MC di klub malam serta petugas keamanan di klub tersebut. Menyadari kerasnya dunia malam di Surabaya menjadi pertimbangan Cak Kitri untuk keluar dari pekerjaannya.
Cak Kitri juga pernah berjualan batagor hingga sekarang menjadi penjaga kos di Siwalankerto bersama istrinya yang menjadi pembantu di kos putri tersebut.
Pendapatan dari itupun tidak cukup, untuk memenuhi kebutuhannya ia menjalani berbagai pekerjaan sambilan lainnya. Tapi yang jelas tidak pernah sedetikpun Cak Kitri melepaskan jalannya sebagai seniman Ludruk.
Kesenian tampaknya sudah menjadi hal yang melekat pada diri Cak Kitri.
Cak Kitri yang sejak kecil selalu menggikuti ayahnya untuk berpindah-pindah tempat tinggal menjadikannya berpindah-pindah grup/sanggar Ludruk, mulai dari Ludruk Kopasgat TNI AU, Mas Pati Madiun, Sari Murni Jombang dan lain-lain.
Dengan masuknya Cak Kitri di berbagai grup/sanggar menjadikan Cak Kitri kaya akan pengalaman dan pengetahuan mengenai kesenian ini.
“Saya, pernah dapat honor mulai dari Rp 1000, Rp 2500, dan bahkan ketika penonton full hanya mendapat Rp 7000. Tapi orang seni bisa bertahan dengan uang sedikit yang penting sehat, tidak perlu kaya. Pernah ketika hari mendung sehingga pentas tidak diselenggarakan, maka tidak ada pemasukan lalu kami berpuasa. Yang paling penting adalah kami bahagia," kata Cak Kitri.
Merasa sudah merasakan barbagai asam garam kehidupan yang mampu menjadikan pengalamannya diperhitungkan dan kemauan serta niat baik pada tanggal 14 Agustus 2014 Cak Kitri resmi mendirikan sanggarnya sendiri yang diberi nama Ludruk Krisna Budaya.
“Grup Ludruk di Surabaya sendiri masih banyak, hanya saja yang masih Gedong atau Tobong (istilah untuk pementasan yang ditiketkan) hanya tinggal Irama Budaya Surabaya. Grup-grup lain menunggu panggilan/tanggapan orang sehingga menjadikan penghasilan tak menentu. Tobong-pun tak menjamin penghasilan besar karena jumlah penonton yang minim," kata Cak Kitri.
Selain kurangnya penonton, kurangnya pemain juga menjadi masalah tersendiri dari Ludruk.
Menurut Cak Kitri manjadi sebuah kesalahan ketika dulu anak-anak muda yang ingin belajar tidak pernah diturunkan dalam pementasan melainkan orang-orang yang itu-itu saja yang dianggap senior sehingga generasi penerusnya tidak ada.
“Tetapi masih ada anak-anak yang mengapresiasi Ludruk walau minim,” kata Cak Kitri.
Dalam grup Ludruk yang beranggotakan 15 orang yang dipimpin Cak Kitri tidak jarang menjaring remaja-remaja yang ingin mengenal dan mempelajari Ludruk.
"Berseni bukanlah mencari kekayaan, seniman boleh realistis tetapi tidak boleh komersil,” kata Cak Kitri.
Mengaku pernah ditawari menikah dengan anak seorang pengusaha, Cak kitri berkesempatan untuk menjadi kaya tetapi ia menolak karena dipaksa berhenti meludruk.
"Ini pekerjaan saya jadi apapun itu hargai. Rejeki sudah ada yang mengatur. Ini jalan saya dan saya bersyukur,” kata Cak Kitri.