Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pemerintah Kota Serang Sempit Pemahaman Toleransi
Warung makan kerap menjadi sasaran aksi anarkistis baik dilakukan oleh organisasi massa maupun pemerintah kota pada saat bulan Ramadan.
Ditulis oleh : Rizki Irwansyah, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta
TRIBUNNERS - Warung makan kerap menjadi sasaran aksi anarkis baik dilakukan oleh organisasi massa maupun pemerintah kota pada saat bulan Ramadan.
Warung makan atau Warung Tegal (Warteg) yang diisi oleh banyak pilihan dengan harga relatif terjangkau tersebut, seolah berubah menjadi sarang maksiat pada bulan suci umat Islam.
Meski kita sering mendengar kata toleransi merupakan hal yang penting dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam ras, suku, serta agama dan kepercayaan.
Namun beberapa hari ini kita kembali dihebohkan oleh berita sikap intoleransi yang dilakukan aparat Satuan Polisi Pamongpraja Pemerintah Kota (Pemkot) Serang, Banten, dengan merazia warteg milik Ibu Eni dengan alasan melanggar aturan larangan buka warung pada siang hari di bulan Ramadan.
Pemerintah & MUI Kota Harus Cerdas
Bersikap toleran atau menghargai merupakan, suatu tindakan yang sudah seharusnya menjadi dasar pemikiran masyarakat Indonesia, mengingat Indonesia merupakan negara pluralistis, juga demi terwujudnya simboyan bangsa yakni Bhineka Tunggal Ika.
Karena bagaimanapun tanpa adanya sikap toleransi bangsa Indonesia dengan masyarakatnya yang dari berbagai macam suku dan budaya, sepertinya akan sulit untuk menjadi masyarakat yang satu, kuat dan rukun.
Mengingat pentingnya sikap toleransi. Alangkah kurang arifnya tindakan pemkot Serang yang membuat aturan larangan membuka warung makan pada siang hari di bulan Ramadan dengan alasan "menghargai orang yang berpuasa".
Alangkah sempitnya pemahaman toleransi yang dipahami Pemkot Serang dan MUI kota Serang.
Disini saya meminta maaf atas kelancangannya menulis sempitnya pemahaman pemkot dan MUI mengenai toleransi.
Hanya saja saya ingin menekankan kepada yang bersangkutan bahwa, untuk menghormati orang yang sedang puasa, tidak harus dengan melarang warung makan buka di siang hari.
Penulis menilai tidak hanya orang berpuasa yang harus diperhatikan dan dihormati. Orang yang tak berkewajiban atau lagi tidak berpuasa pun harus tetap dihormati.
Mereka yang tidak beragama Islam tentu membutuhkan makan pada siang hari. Andai saja warung makan dipaksa tutup karena aturan pemkot, betapa kesulitannya mereka yang tidak berpuasa mencari makanan.
Tentu bukan mereka yang tidak beragama Islam saja yang tidak menjalankan ibadah puasa, bisa saja orang Islam yang memang tidak diwajibkan untuk berpuasa seperti saat sakit, ibu menyusui, anak-anak, orang yang terganggu jiwanya.
Selain itu, warung makan yang buka disiang hari juga memberikan hal yang positif bagi mereka yang berpuasa, yakni dapat menguji kekuatan iman mereka dalam menjalankan ibadah puasa, menjadi berkah tersendiri bagi umat muslim yang dapat melewati cobaan dalam melaksanakan ibadahnya.
Tindakan yang cenderung represif tanpa memperhatikan pentingnya menghormati satu sama lain mengambarkan bahwa Pemerintah Banten kurang memaknai makna toleransi yang baik.
Adanya Toleransi karena semua tak selalu sama, kita tak selalu seirama, Indonesia adalah negara plural. Lantas mengapa kita pahami perbedaan ini dengan keindahan, yang di isi oleh limpahan kasih sayang.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.