Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Kasus 27 Juli yang Tergadaikan demi Politik 'Transaksional' Megawati

Pemerintah terlebih-lebih ketika Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden, enggan dan malu-malu untuk bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan 27 Juli

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Kasus 27 Juli yang Tergadaikan demi Politik 'Transaksional' Megawati
WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN
Sejumlah mahasiswa membawa poster dan menabur bunga di depan DPP PDI yang baru, di Jakarta Pusat, Senin (22/6/2015). Mereka menolak penunjukan Sutiyoso menjadi kepala BIN karena diduga terlibat peristiwa penyerangan Sekretariat DPP PDIP di yang dikenal kerusuhan 27 Juli (Kudatuli) 1996 memakan korban cukup banyak. WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN 

PENULIS: PETRUS SELESTINUS/ MANTAN KUASA HUKUM MEGAWATI SOEKARNOPUTRI DALAM PERISTIWA 27 JULI & KOORDINATOR TPDI

TRIBUNNERS - Tanggal 27 Juli 2016 yang jatuh pada hari ini Rabu, merupakan hari ulang tahun peristiwa 27 Juli 1996 yang ke 20 dan sekaligus merupakan hari dimana 20 (dua puluh) tahun mandegnya penyidikan kasus 27 Juli.

Sebuah usia penyidikan yang tidak normal, tidak masuk dalam akal sehat publik dan tidak seharusnya terjadi di era reformasi karena peristiwa 27 Juli merupakan cikal bakal lahirnya reformasi.

Mari kita mencermati dan membandingkan rentetan peristiwa politik yang terjadi pasca PDIP menjadi Partai Politik yang berkuasa pada 5 (lima) tahun pertama reformasi dan berkuasa lagi pada 10 (sepuluh) tahun kemudian (2014).

Bandingkan antara deraian air mata Megawati Soekarnoputri ketika berpidato mengenang peristiwa 27 Juli dan dengan suara lantang menyatakan bahwa PDIP akan tetap menuntut secara hukum pelaku peristiwa 27 Juli, dengan dukungannya kepada Sutiyoso dan Tri Tamtomo dalam pencalonan mereka di Pilkada DKI dan Sumut.

Demikian jelas bahwa bahwa Megawati dan DPP PDIP telah menjalakan praktek "politik paradoks" dan "tidak satunya kata dan perbuatan", yang telah melahirkan anomali politik dan membawa akibat buruk berupa "matinya hukum".

Akibatnya membawa kasus 27 Juli sebagai tergadaikan dan tetap menjadi hutang negara terhadap rakyat.

Berita Rekomendasi

Semua orang tahu bahkan sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat, bahwa, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso dan Mayjen TNI (Purn) Tri Tamtomo, keduanya masih berstatus sebagai tersangka sejak tahun 2001 hingga sekarang.

Keduanya diduga sebagai pelaku yang turut serta terlibat dalam peristiwa pidana 27 Juli 1996.

Namun mengapa Megawati Soekarnoputri memberikan hak previllage kepada kedua Jenderal TNI Purnawirawan tersebut melalui PDIP dengan mengorbankan rasa keadilan publik.

Dengan demikian maka tidak ada kata lain yang tepat untuk dikatakan kepada Megawati Soekarnoputri selain kata politik anomali dan politik paradoks Megawati Soekarnoputri telah mengalahkan akal sehat publik dan rasa keadilan publik.

Kita tahu bahwa peristiwa 27 Juli 1996 adalah sebuah tragedi politik yang bukan saja mencederai prinsip-prinsip negara hukum dan HAM di era Orde Baru.

Insiden itu bukan hanya persoalan ketidakadilan dalam proses hukum atas 124 (seratus dua puluh empat) orang pendukung, simpatisan PDI Pro Megawati Soekarnoputri yang ketika itu dituduh menduduki Kantor PDI Pro Soerjadi.

Akan tetapi lebih dari itu peristiwa 27 Juli adalah merupakan cikal bakal lahirnya reformasi dan tumbangnya kekuasaan Orde Baru.

Halaman
12
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas