Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Independensi Peradilan Militer Bandung Diragukan
Persidangan kasus anak yang dianiaya oleh Anggota TNI AL telah berjalan di Pengadilan Militer Bandung sejak awal Agustus lalu.
Editor: Malvyandie Haryadi
PENGIRIM: Lembaga Bantuan Hukum Jakarta – Lembaga Bantuan Hukum Bandung
TRIBUNNERS - Persidangan kasus anak yang dianiaya oleh Anggota TNI AL telah berjalan di Pengadilan Militer Bandung sejak awal Agustus lalu.
Setelah memeriksa para anak yang menjadi korban HA (14) dan SKA (13), Majelis Hakim juga sudah memeriksa sejumlah saksi lainnya serta mendengarkan keterangan Terdakwa Koptu Mar Saheri.
Akhirnya, Selasa (16/8) kemarin Oditur menyampaikan Tuntutan 5 bulan penjara yang dianggap para Anak Korban dan keluarga tidak adil.
Pada awal persidangan Eko Sugianto, Oditur Militer, menyampaikan Dakwaan Tindak Pidana kekerasan terhadap anak sesuai Pasal 76c jo. Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak yang ancaman pidananya paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.
Selama persidangan, keluarga korban didampingi LBH Bandung terus memantau. Selasa (23/8) depan, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Letkol CHK Kowad Nanik dan dua hakim anggota, Mayor CHK Kowad Indrawati dan Mayor SUS Dahlan akan membacakan putusan di Pengadilan Militer Bandung.
Masalahnya, keluarga Anak Korban masih sangsi akan independensi peradilan militer ini mengingat isi Tuntutan Oditur yang tidak sesuai dengan kenyataaan yang dialami.
Tuntutan Oditur tersebut dinilai mencederai rasa keadilan dan melenceng dari tujuan hukum acara pidana yang mencari kebenaran yang faktual (kebenaran materil).
Keterangan Terdakwa yang tidak didukung dengan keterangan siapapun semestinya tidak serta merta mengesampingkan keterangan yang disampaikan para saksi.
“Apalagi Terdakwa tidak disumpah. Artinya ia tentunya punya hak untuk mangkir dari tuduhan. Semestinya pernyataannya tidak bisa langsung dianggap kebenaran tanpa didukung keterangan saksi lainnya. Inilah yang membuat keluarga Korban yang terus memantau persidangan menjadi kecewa,” ujar Bunga Siagian, kuasa hukum sekaligus pendamping Anak Korban.
“Prinsipnya unus testis nullus testis. Satu saksi bukan saksi. Mana bukti lain yang mendukung keterangan Terdakwa? Kan tidak ada. Kalau keterangan Terdakwa bisa dianggap benar padahal tidak sesuai dengan keterangan saksi, bisa-bisa Terdakwa melanggeng bebas begitu saja jika ia tidak mengaku bersalah,” lebih lanjut dijelaskan oleh Riefqi Zulfikar,
pendamping Anak Korban dari LBH Bandung.
Lebih jauh, Tuntutan Oditur dirasa tidak adil karena terkesan tidak sungguh-sungguh dalam menuntut hukuman. Pada bagian Hal Yang Memberatkan, Oditur menyampaikan:
“(1) Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan Sapta Marga, Sumpah Prajurit, Delapan Wajib TNI;
(2) Perbuatan Terdakwa mencemari nama baik institusi;
(3) Perbuatan Terdakwa menarik perhatian publik dan media sosial; dan
(4) Perbuatan Terdakwa menyebabkan korban dibawah umur trauma.
” Tapi, itu tidak sejalan dengan Tuntutan pidana ringan yang diminta, yaitu 5 (lima) bulan. Padahal maksimalnya 3 tahun 6 bulan.